[12] Forgive?

7.2K 912 81
                                    


Maap buat tiponyaaa ya.

~~~

"Masa depan Dennies masih panjang, tinggal lah dengan Ayah kamu, Nies. Bibi tidak bisa berjanji bahkan untuk selalu bisa tepat waktu membayar iuran sekolahmu."

"Dennies bisa kerja, Bi, nggak perlu minta bantuan Ayah, Dennies mau sama Bibi aja, bukan yang lain."

"Tapi dia Ayah kamu, Nies, dia lebih berhak atas kamu."

"Bibi yang udah membesarkan Dennies, jadi Bibi lebih berhak."

"Nies, dengarkan Bibi," Bi Arum menegakkan duduknya, "Semuanya terjamin jika Dennies bersama Ayah, dia bisa memberikan apapun yang Dennies mau, sesuatu yang bahkan Bibi sendiri tidak bisa berikan."

"Yang Bibi berikan sudah lebih dari cukup," jawab Dennies lirih.

"Jangan buat Bibi berdosa, karena sudah terlalu lama memisahkam Dennies dengan Ayah."

"Bi, Dennies—"

"Demi Bibi, demi Adnan."

"Adzan, Nies."

Dennies menoleh saat seorang pria paruh baya menepuk pundaknya. Ia tak banyak menjawab, hanya tersenyum tipis kemudian bangkit untuk meraih mikrofin di depan sana. Mungkin benar pepatah lama mengatakan don't see a book by the cover. Penampilan Dennies mungkin urakan, terlihat seperti preman, namun jiwanya tak terpisahkan dari masjid. Walaupun Dennies urakan, namun rokok dan mabuk bukanlah hidupnya. Dennies hanya perlu sesuatu yang bisa ia jadikan sebagai pelampiasan, dan ia melampiaskan semuanya pada penampilannya kini.

Dennies memang suka balap, namun jika balapannya mengahasilkan uang. Uang yang ia dapatkan dari hasil balapnya, Dennies gunakan untuk membantu memodali bibi berjualan, atau kalau ada lebih ia gunakan untuk membayar uang sekolah Adnan. Dennies tidak terlalu memikirkan dirinya sendiri, ia selalu menomor satukan orang lain dan menomor duakan dirinya sendiri. Bagi Dennies, melihat orang yang ia sayangi bahagia merupakan kebahagiaannya. Ia akan melakukan apapun untuk membuat Bi Arum dan Adnan bahagia. Walaupun kadang untuk membahagiakan mereka, ia harus merenggut kebahagiaannya sendiri.

Dennies selesai mengumandangkan adzan, menjadi muadzin memang sering ia lakukan, kadang juga menjadi imam saat sholat. Hal lumrah yang bisa Dennies lakukan untuk menenangkan dirinya hanya masjid, bukan bar ataupun kafe.

Tatapan Dennies menerawang jauh, setetes air mata jatuh dari matanya kini, namun secepat air mata itu jatuh, secepat itu pula Dennies menghapusnya.

Tinggal dengan Ayahnya?

Tanpa sadar, Dennies menahan napas memikirkannya. Ia belum siap, bahkan tidak akan pernah siap. Luka yang sudah Ayahnya berikan terlalu membekas di hati Dennies, dan bertemu kembali denganya hanya akan membuat luka itu semakin dalam lagi, luka yang bahkan Dennies tidak ketahui bagaimana menyembuhkannya. Dennies sudah terbiasa hidup tanpa orang tua. Besar tanpa didikan keduanya membuat ia kebal terhadap banyak hal. Termasuk orang-orang yang selalu mencibir penampilannya.

Dennies tidak siap, tidak akan pernah siap untuk kembali bertatap muka dengan Ayahnya. Terlebih, mungkin ia juga akan dibawa tinggal bersama dengan keluarga baru Ayahnya, keluarga yang membuat Dennies terpisah dengan Ayahnya. Dennies tahu, waktu telah menjelaskan semuanya. Ia mengerti dan juga paham, sekeras apapun ia berusaha memaafkan, namun rasa benci dan sakit itu selalu hadir saat ia mencoba melakukannya.

DENNIESWhere stories live. Discover now