__ Pria dengan Jejak Pelangi __

1.9K 253 18
                                    


'Tap Tap Tap'

Suara itu terdengar pelan seirama dengan ayunan langkahnya, kakinya yang meninggalkan jejak pelangi tampak begitu besar dibanding ukuran manusia pada umumnya. Kulit bersisiknya memancarkan cahaya terang yang mampu membutakan siapapun yang melihatnya. Beruntung, tempat itu hanya dihuni oleh dirinya dan seorang tahanan kesayangannya.

'Tap'

Saat berdiri dihadapan sebuah pintu besar yang megah, pintu itu terbuka seakan menyambut kedatangannya.

Sosok itu berjalan, jubah pelanginya bergerak mengikuti pemiliknya.

Wajah penuh sisik itu menyeringai, menatap seorang wanita yang terbaring di dalam tabung kaca. Pendar pelangi disekeliling tubuhnya tampak bergerak saat si pria berjubah menyentuh kaca, kemudian tertarik ke arah tangannya seakan sedang diserap. Dan memang, itulah yang dilakukannya.

"Hm... Apa kau menikmati 'dunia' yang kuberikan, Ratuku?"

Sosok itu menyeringai saat suara kerasnya menggema di ruangan.

"Apa kau tidak melihat besarnya perjuanganku? Oh sungguh, aku membuat ruangan indah ini hanya untukmu, My Lord..." Sosok itu lagi-lagi menyeringai, tangannya membentang seakan meminta si wanita memperhatikan ruangan di sekelilingnya.

Indah, memang indah. Kilasan warna pelangi terlihat memenuhi ruangan, dengan aroma pepohonan yang begitu menyejukkan. Uh, si wanita sangat tahu tempat ini begitu indah. Tapi dengan keberadaan sosok itu, ia mengerti, bahwa indah tidak selalunya baik.

Sosok itu menekan tombol di samping tabung kaca, menyebabkan kaca yang mengurung si wanita menghilang. Tapi, percayalah, wanita itu tidak akan lari selagi sebuah rantai mengikat punggungnya, menancap tepat di area jantungnya.

"Apa lagi maumu?"

Wanita itu bersuara dengan sinis, menjaga agar dirinya tidak bergetar ketakutan. Raut wajahnya masih terlihat cantik, sangat tidak mencerminkan selayaknya seorang tahanan. Tentu saja, karena sosok dengan jejak pelangi di kakinya itu membuat agar keadaan si wanita tetap baik-baik saja, sebaik rencananya yang tidak diketahui siapapun.

"Ooh.. lihatlah! Ratu kesayanganku ini marah. Ada apa, My Lord? Kau tidak menikmati keindahan yang kuberikan padamu?"

Wanita itu menggeram. Kedua tangannya memang bebas, namun ia tidak bisa menggerakannya sedikitpun disaat tenaganya terus di serap.

"Setelah kau menghancurkan keluargaku dan mengambil kekuatanku, masih berani kau memanggilku Ratumu?"

Tawa.

Sosok itu tertawa keras, seolah ucapan si wanita adalah guyonan paling menggelikan yang pernah didengarnya.

"Ah, aku tidak bisa berlama-lama disini. Kau tahu, kau sudah tidak menarik lagi bagiku. Ah tentu saja kau tahu, karena perhatianku sekarang tertuju pada buah hatimu. Uh, kau tahu, mereka begitu menggemaskan."

Wanita itu membulatkan matanya, menatap sosok bersisik yang kini menyeringai ke arahnya.

"Ja-jangan berani kau melukai mereka!" Suara itu bergetar, penuh akan emosi dan kebencian. Dua perasaan yang selama ini ia tanam untuk pria yang baginya memiliki hati sebusuk iblis..

"Hohohoh... Tenang, tenang. Aku tidak melukai mereka, sungguh!"

Kalau dia manusia biasa, sosok itu pasti sedang menatap dengan tatapan sok polos yang menyebalkan.

"Aku hanya..."

Sosok itu menggantung ucapannya, menekan rantai yang menancap di tubuh si wanita dengan keras.

"... Bermain dengan mereka"

TRUSH !!!

"AAAARRRRGGGHHH...."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"HUAAAA...."

Halilintar terbangun, matanya membelalak ngeri dengan apa yang baru saja dilihatnya. Keringat mengalir membasahi tubuhnya, bahkan kaos hitam yang dikenakannya telah basah oleh keringat.

"A-apa itu?"

Dengan bergetar, ia mencoba melihat sekeliling. Dan yang ditangkap oleh mata ruby nya hanyalah ruangan berdominasi merah-hitam yang tak lain adalah kamarnya.

'Cklek'

"Hali? Ada apa dengan cucu Atok ini?"

Tok Aba membuka pintu kamar Hali yang beruntungnya tidak terkunci, menatap khawatir cucu sulungnya yang kini tengah menatap tak fokus.

Ia terbangun saat Halilintar berteriak. Berhubung kamarnya bersebelahan dengan sang cucu, Tok Aba cepat-cepat mendatangi cucu kesayangannya.

"Hey, Hali?"

'Greb'

Saat Tok Aba mendekat dan menggoyangkan pundaknya, Halilintar justru berhambur memeluknya erat, memejamkan matanya berharap apapun yang ia lihat di mimpinya segera hilang dari ingatannya.

"Hali? Ada apa?"

Halilintar yang masih memeluk sang kakek, menenggelamkan wajahnya didada kakeknya.

"A-aku tidak tahu, t-tapi... Aku bermimpi... Yang mengerikan" suara itu terdengar seperti cicitan pelan.

"Huh?"

Sembari mengusap kepala Halilintar, Tok Aba mengernyit bingung. "Mimpi?"

"Um," Halilintar mengangguk, sedikit tenang saat menikmati elusan kakeknya di kepalanya.

"Sudahlah, tidak biasanya kau mimpi buruk seperti ini. Pasti lupa baca do'a 'kan?"

Hali masih terdiam, tak ingin menjawab apapun.

"Sudah sudah, tidak apa-apa. Hanya mimpi biasa dan jangan dipikirkan. Mungkin ini karena seharian ini kau kelelahan. Jadi, sekarang tidur lagi ya? Ini masih dini hari"

Tok Aba melepaskan pelukan Halilintar kemudian menatap wajah cucunya itu, sedikit menahan tawa saat wajah itu memerah seperti menahan tangis.

"T-tapi... Atok temani Hali ya?" Suara Halilintar kini terdengar penuh permohonan, sangat berbeda jauh dengan dirinya yang biasanya.

"Hm, untuk cucu Atok ini, kenapa tidak?"

Tok Aba menaiki tempat tidur Halilintar yang memang cukup untuk dua orang, membaringkan tubuh cucunya dengan lembut.

"Sudah, jangan memikirkan apapun lagi. Sekarang, Hali tidur ya?"

Halilintar hanya mengangguk, memeluk tubuh Atoknya yang berbaring di sampingnya saat sang Atok mengusap lembut kepalanya.

Tak butuh waktu lama, di dalam pelukan sang kakek, Halilintar memejamkan matanya sembari mengatur nafasnya lebih rileks, membuat Tok Aba tersenyum.

"Tidurlah, cucu kesayangan Atok"

________

________

________

Sebenarnya, Amato baru saja pulang dari bekerja saat ia mendengar suara teriakan. Merasa yakin bahwa teriakan itu dari lantai atas rumahnya, ia segera menutup pintu rumah dan berlari menuju lantai atas.

Begitu melihat pintu kamar putra sulungnya terbuka, Amato mencoba memeriksa ke dalamnya, tapi gerakannya segera tertahan di ambang pintu saat ia melihat sang kakek sedang memeluk Halilintar.

"A-aku tidak tahu, t-tapi... Aku bermimpi... Yang mengerikan"

Saat suara itu terdengar, Amato hanya bisa memandang sendu tubuh ringkih putranya. Tubuh yang kini tenggelam dalam pelukan hangat Tok Aba, menggantikan begitu saja pelukan yang harusnya diberikan olehnya sebagai seorang ayah.

'Maaf...'
.
.
.

TBC..

why??? (END)Where stories live. Discover now