/Ti•ga Pu•luh Em•pat/

7.1K 290 10
                                    

Akhirnya Aksa ngejelasin, ga diem aja kek kemaren.
Gitu dong Aksa, aku jadi ga salah paham kan.

***

"Saya sudah ingatkan untuk menjaga kondisi mental pasien." omel dokter pada Aksa setelah apa yang terjadi tadi.

"Asha depresi, mental breakdown yang sangat parah. Hal itu begitu berpengaruh dengan kondisi fisiknya. Jangan paksa saya membuat Asha tidak boleh didampingi samasekali."

"Itu hanya akan membuat Asha benar-benar gila." tanggap Aksa singkat dan meninggalkan dokter tadi.

Aksa memasuki ruangan, seperti hari-hari sebelumnya seperti biasa Asha menatap kosong ke arah jendela.

Perban di seluruh tubuh gadis itu benar-benar sudah sepenuhnya diganti. Berikut perban di lengan kanannya akibat luka infus tadi.

"Sebelum saya pergi, saya pamit untuk melanjutkan studi, Sha. Maka itu yang saya lakukan selama ini. Saya nggak pergi dan akhirnya menikah dengan wanita lain, Sha. Rosse itu adik ipar saya. Suaminya tentara dan sekarang sedang bertugas di daerah. Kebetulan dia tinggal di Jakarta, dan awalnya berniat untuk menjemput saya dari bandara ke rumah orang tua saya. Namun malah kecelakaan ini yang terjadi."

Aksa mencoba menyentuh gadisnya, ia tak akan terkejut jika penolakan diterimanya, setidaknya ia sudah mencoba.
Namun ternyata Asha diam ketika Aksa mengelus lembut kepalanya.

"Untuk Darrel, putra sulung Rosse, lebih suka memanggil saya dengan sebutan papi seperti tokoh kartun favoritnya. Tapi dia memanggil orang tuanya, ayah dan bunda. Jadi, saya masih memegang ucapan saya, Sha. Saya mencintai kamu dan hanya menginginkan kamu sebagai istri saya. Nggak mungkin secepat itu saya beralih dari kamu."

Asha masih diam walaupun telinganya dengan baik merekam semuanya.

"Maaf karena lagi-lagi sempat pergi tanpa kabar pada kamu. Saya benar-benar kesal saat kamu lebih memilih Aldo ketimbang saya dulu. Dan saya lebih memilih untuk fokus menyelesaikan semua studi."

"Sampai akhirnya saya mendapat kabar buruk itu." Ucapan Aksa kali ini berhasil menarik perhatian Asha. Gadis itu menoleh sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangannya.

"Airin mengabari saya tentang kepergian ibu kamu. Dari sana saya kenal ayah kalian dan mengerti alasan kamu mengejar Revaldo dibandingkan mempertahankan saya saat itu. Saya tau banyak hal tentang kegiatan kamu selama saya di London dari ayah kamu. Termasuk konflik kalian yang saya rasa sedikit mulai membahayakan hubungan kalian. Saya memutuskan langsung kembali untuk kamu, ternyata malah kamu yang berlari menghampiri saya lebih dulu."

"Dokter meminta saya untuk menjaga kondisi mental kamu. Awalnya saya kira akan lebih baik jika kamu sembuh lebih dulu, nyatanya malah memperburuk keadaan. Sekarang sampaikan apapun yang mau kamu sampaikan. Tanyakan semuanya sampai kamu percaya pada saya. Saya akan lakukan semuanya untuk memenangkan hati kamu lagi, Sha."

Asha menggigit bibirnya gusar. Ia dengan jelas mendengar penjelasan Aksa. Dan semuanya masuk akal. Asha sebenarnya tidak punya lagi alasan mencegah Aksa maju.

Hanya saja keraguan dan ketakutan masih lebih mendominasi. Mau bagaimanapun Asha tidak akan pernah terima lagi dengan Aksa yang memutuskan untuk pergi dan akhirnya kembali dengan segudang kata maaf dan penjelasan yang dapat dimengerti. Asha butuh Aksa, bukan penjelasannya.

"Kenapa saya? Setelah saya ngusir Kak Aksa begitu aja, juga dengan segala pencapaian dan kelebihan Kak Aksa, kenapa masih milih saya? Saat ada jutaan wanita sukses yang akan dengan baik mendampingi Kak Aksa, kenapa masih saya?"

"Karena kamu, Ashlesha, satu-satunya wanita yang saya cinta."

"Hubungan nggak akan bisa dibangun hanya dengan modal cinta, Kak! Saya tuh nggak pantas untuk bersanding dengan laki-laki kaya raya, berpendidikan, dan sukses kayak Kak Aksa-"

"Kalau gitu pantaskan diri kamu, Sha. Ubah diri kamu jadi lebih dan lebih baik sampai kamu rasa itulah yang pantas untuk bersanding dengan saya. Biar kita sama-sama berjuang, Sha."

Asha terdiam, ia terlalu tersentuh mendengar kalimat itu. Setelah semua sikap dan kelakuannya pada Aksa, akhirnya seperti ini yang didapatkannya?

Titik bahagia yang didambakan semua?Asha rasa dia tidak pantas menerimanya.

Baiklah, kita perbaiki kalimatnya. Asha rasa dia harus berusaha lebih keras agar pantas menerimanya.

"Maaf," sebut Asha pada akhirnya.

"Ini semua bukan suatu kesalahan yang harus saya maafkan, Sha."

Aksa menarik kursi dan menempatinya saat tangannya dengan hati-hati menyentuh jemari kanan Asha. Jika saja bukan karena perban ini pasti Aksa sudah akan menggenggamnya erat.

"Saya cinta sama kamu, Sha. Makasih udah mempertahankan perasaan yang juga selalu saya tanam walaupun kita nggak bersisian. Setelah ini saya nggak akan lagi mengulangi hal itu. Saya nggak akan lagi pergi dari kamu."

Asha hanya tersenyum samar. Ia percaya Angkasa sepenuhnya sekarang. Tidak ada alasan yang membuatnya harus berlaku sebaliknya. Hanya saja sepertinya akan banyak tugas yang harus mereka selesaikan.

"Kamu ingat janji saya dulu?"

Asha diam mengambil waktu berpikir mencari jawaban. Beberapa jawaban yang muncul dengan keabu-abuan yang ikut terhitung, malah membuat Asha mencibir. "Kayaknya terlalu banyak janji."

Tak merasa tersindir, Aksa mengulang kalimat yang dulu pernah diucapkan. "Aku akan kasih kamu hadiah paling spesial yang pernah kamu terima di ulang tahun kamu ke 21."

Asha menatap manik lelakinya. Sedikit-sedikit menyelipkan harapan di sana, walaupun jika otaknya dibiarkan berperan di sana, akan dihempas jauh-jauh harapan fana barusan.

Aksa yang dengan rindu balas menatap manik indah itu, perlahan bergerak.

Gerakannya tertahan ketika pintu yang tiba-tiba terbuka kasar mengejutkan keduanya. Asha bahkan sampai berdecak dan mendengus melihat adiknya yang sepertinya berbakat dalam mengacaukan suasana.

"Sha, lo gila ya?! Lo mau gw mati gara-gara khawatir?!" omel Aldo langsung menghampiri dan meneliti tiap inci tubuh kakaknya.

"Gw nggak apa-apa."

Mata sang lawan bicara spontan memincing sengit, "Gw lagi nggak nanya lo kenapa, ini bukan saat nya lo jawab nggak apa-apa."

Asha hanya memutar bola matanya malas menanggapinya. Ia memilih fokus menyamankan tubuhnya di brankar walaupun sedikit sulit karena rasa sakit yang masih dirasakannya.

"Sha, sumpah. Lo pucet banget. Lo bisa diincer sama volturi karna disangka nunjukin diri ke manusia. Keluarga Cullen udah punya pasangan masing-masing, Sha. Lo nggak usah berharap mereka nolongin lo-"

"Berisik." omel Asha singkat.

"Tapi enggak sih, lo terlalu pucet untuk seorang vampir. Edward Cullen bibirnya masih merah, bibir lo udah gak ada warnanya."

"Makanya beliin gw Guerlain," celetuk Asha berhasil membuat Aldo berhenti dari ocehannya.

"Ayo kita rencanain tur dunia," celetuk Aldo melompat dari jalur namun disambut tawa oleh Asha. Jadi sepertinya hanya Aksa yang ketinggalan materi di sini.

***

Owalaaaaa, gitu dong Aksa dari kemaren. Ngomong atuh kalau ada apa-apa. Kirain kamu udh punya anak istri😆

Btw, Guerlain tau nggak apaan? Itu merk lipstik paling mahal di dunia. Makanya Aldo bilang mendingan rencanain tur dunia daripada buang-buang uang buat Guerlain.

Bad Teacher Great HusbandWhere stories live. Discover now