/Ti•ga Be•las/ - bag. 2

7.6K 341 2
                                    


Ashlesha kembali menghela napas, berharap hal itu membantunya menyalurkan kekhawatirannya. Dengan gelisah ia memasukkan kotak bekalnya ke dalam tas.

Gadis itu akhirnya kembali mendekati ibunya dengan gusar. Mengelak permintaan Trisha untuk tak perlu khawatir. Mana mungkin Asha tidak khawatir melihat kondisi ibunya yang tiba-tiba pucat dan demam seperti ini.

"Ayo, Ma. Kita ke rumah sakit aja." paksa Asha ke sekian kalinya sembari memegang erat kedua bahu ibunya.

"Nggak usah-"

Gadis itu berdecak tak setuju. "Asha nggak mau denger jawaban nggak usah, Mama nggak apa-apa. Ayo kita ke rumah sakit."

"Kalau kita ke rumah sakit, gimana dengan biaya-biaya yang lain, Sha?" tanya balik Trisha realistik.

"Asha kerja. Biar Asha yang cari uang." Gadis itu menyampir tas nya dan beralih meraih baju hangat ibunya. "Mama nggak usah lagi pusingin uang, biar Asha yang tanggung jawab sekarang."

Asha mengabaikan tatapan sendu ibunya. Ia yakin Trisha tak tega mendengar kalimat barusan dari putri semata wayangnya, yang bahkan masih duduk di bangku sekolah. Namun Asha jauh lebih tidak tega untuk memerdekakan diri di atas pengorbanan ibunya. Sudah cukup 18 tahun ia merepotkan, kini waktunya Trisha mendapat bayaran.

Setelah membantu ibunya mengenakan pakaian hangat, Asha menggandeng ibunya ke luar rumah. Beberapa saat menunggu kendaraan umum yang bisa membawa mereka menuju rumah sakit terdekat.
"Kita ke Puskesmas aja, Sha."

Yang diberi saran menggeleng. "Rumah sakit, Ma."

Trisha tentu tak setuju mengingat biaya yang harus dikeluarkan samasekali tak sepadan dengan kemampuan mereka. Namun perhatiannya teralih ketika Asha memberhentikan taksi.

"Asha serius soal tanggung jawab, Ma. Asha udah gede, Asha bisa gantiin Mama." ujarnya mengerti tatapan khawatir ibunya.

Taksi membawa mereka menuju rumah sakit yang letaknya sejarak dengan rumah ke sekolah. Hanya saja letak rumah sakit ini bertolakbelakang dengan posisi sekolah sehingga Asha sendiri kurang yakin ia berhasil mencapai sekolah tepat waktu.

Namun Asha cepat-cepat menepis pikirannya mengenai sekolah. Sekolah santuy nya itu samasekali tak akan membebaninya hanya karena satu hari absen.

Dengan telaten Asha mendampingi ibunya. Mulai dari menunggu antrian yang untungnya tak begitu panjang, bertatap muka langsung dengan dokter, hingga kini menunggu hasil laboratorium tes darah Trisha.

Berkali-kali Asha mengetukkan kaki nya, tak betah menunggu hasil yang bisa saja tak sesuai ekspektasi. Masalahnya, tes darah kali ini menentukan jika ibunya bisa pulang atau malah harus menjalani opname akibat asam urat tinggi.

Mendengar nama ibunya dipanggil membuat Asha segera menghampiri untuk mendengar keputusan dokter. Dan benar saja, apa yang amat ditakutkan Asha terjadi. Ibunya diwajibkan rawat inap untuk mengontrol penyakit asam uratnya.

Asha takut dengan dirinya sendiri. Ia takut murid SMA yang sama sekali tak berprestasi seperti dirinya tak akan diterima kerja dimana-mana. Lalu bagaimana ia bisa mendapatkan uang?

Namun tak lagi memikirkan soal uang, Asha langsung saja menyanggupi ucapan dokter tadi. Ia membiarkan ibunya menjalani pengobatan intensif, dan berharap perencanaan keuangan yang sempat di susun otaknya dapat berjalan dengan baik.

"Kamu mau kerja apa, Sha? Kamu masih murid SMA, gaji kamu nggak akan cukup untuk bayar ini semua." ujar Trisha gelisah ketika perawat yang membawanya ke kamar inap telah meninggalkan keduanya.

"Udah, Ma. Mama pikirin aja kesembuhan Mama. Jangan pikirin soal uang, biar Asha yang urus itu." jawabnya mengulang-ulang kalimat yang sama seolah kepastian sudah di depan mata.

Keheningan menyelimuti ruangan, masing-masing sibuk dengan pemikiran yang kian lama kian memberatkan. "Kamu berangkat sekolah aja, Sha."

Selaras dengan arah pikirnya, gadis itu langsung menoleh ke arah jam. Jam tujuh lewat satu menit.

Asha menggeleng, "Bel bunyi satu menit lalu. Yang telat nggak boleh masuk."

Bad Teacher Great HusbandWhere stories live. Discover now