Mundur?

56 19 0
                                    

"Maafkan aku terlanjur mencinta"

~Nayla Nacaella Putri~
***

Seorang gadis terlihat sedang menggeliat tidak nyaman dari tidurnya. Sudah terhitung lama sejak Langit membawa Nayla datang kerumahnya. Gadis itu adalah Nayla. Jam menunjukan pukul 4 dan Nayla selama itu belum juga terbangun dari lelapnya, sedangkan Langit masih setia menunggui Nayla sampai tertidur lelap disofa.

"Bunda" terdengar Nayla yang tengah mengigau menyebut-nyebut nama bunda.

"Bunda" mengigau lagi, tanpa sadar sebutir air mata jatuh tepat dipipi Nayla yang masih senantiasa memejamkan matanya.

Langit yang merasa terganggu tidurnya, akhirnya dia memilih memaksakan membuka kedua matanya yang sebenarnya masih ingin terpejam.

Langit mendengar gumaman suara yang diiringi isak. Suara itu terdengar jelas ditelinga Langit. Apa iya ada hantu? Langit menepis pertanyaan bodohnya. Sudah jelas dia bukan indigo yang dengan mudahnya bisa melihat  ataupun mendengat suara-suara mistis. Namun, mungkinkah hantu itu menampakan dirinya dihadapan Langit? Pikiran itu lenyap dengan sendirinya setelah kedua retinanya menangkap seseorang yang tengah terlelap sambil mengigau.

Dengan segera Langit mendekat ketempat Nayla. Menatapnya dengan iba, entah mengapa Langit tidak suka melihat Nayla menangis seperti itu, meskipun dalam mimpinya. Sudah cukup dulu dia yang membuat Ayla menangis. Kali ini jangan lagi, entah itu Ayla maupun Nayla. Bagi Langit, Nayla adalah Ayla nya.

"Bunda . . . "

"Ayla disini"

"Bunda . . ."

"Tolong Ayla"

"Ayla takut" racau Nayla terus-terusan. Membuat Langit bingung dibuatnya, mengapa Nayla terus memanggil kata Bunda? Dan lagi dia menyebut namanya dengan nama Ayla. Nama yang sama dengan nama gadis yang telah berhasil merebut hati dan pikirannya. Ayla, lebih jelasnya sang mantan.

"Tenang Nay" Langit mencoba menenangkan Nayla dengan tenang,

"BUNDA" lalu Nayla bangun dengan tiba-tiba. Tangannya memegang bagian belakang kepalanya karena terasa sakit. Matanya yang terpejam perlahan terbuka menampilkan ruangan bernuansa Abu-abu yang terasa tidak asing. Lalu tatapannya tertuju pada laki-laki yang juga tengah menatapnya. Langit, laki-laki itu adalah Langit.

"Ada yang sakit Nay?" Nayla menggeleng pelan sambil melepaskan pegangan tangannya dari kepalanya.

"Tadi lo pingsan, terus gue bawa kesini" Nayla mengangguk mengerti, lidahnya terasa kelu untuk sekedar bertanya. Namun dengan pekanya Langit langsung memberi tau tentang apa yang ingin Nayla tanyakan tadi.

"Makasih" gumam Nayla, sejak dekat dengan Langit, Nayla terus saja mengucapkan kata terimakasih saat menerima bantuan. Padahal dia tidak minta.

Langit mengangguk sekali sambil mengedipkan mata. Lalu tersenyum manis sekali, tanpa sadar Nayla menatapnya tanpa berkedip. Ini adalah kali pertama Nayla melihat Langit tersenyum dengan manisnya dihadapannya. Tidak seperti Faeza.

Laki-laki dihadapannya ini adalah Langit, sedangkan Faeza adalah masa lalu Nayla. Meskipun keduanya sama, bagi Nayla, Faeza nya sudah mati bersamaan dengan kenangan yang telah ia pendam dalam-dalam dalam hatinya.

Pagi ini, Nayla diantar oleh Langit untuk pulang kerumahnya. Tadinya Langit ingin sekalian berangkat bersama. Namun Nayla menolaknya tanpa menerima alasan.

Nayla bersiap secepat mungkin, pagi ini adalah keberuntungan bagi Nayla. Karena orang tua nya tidak terlihat berada diarea rumah sejak Nayla pulang tadi pagi.

***

Bel istirahat menggema, menandakan jam istirahat. Nayla hanya terdiam ditempat duduknya, tidak berniat untuk kekantin atau ke tempat lainnya. Rey menatap Nayla dengan iba, walaupun tidak tau masalah yang tengah dihadapi Nayla. Rey merasa kesedihan Nayla juga kesedihannya, dan Rey tidak tau alasan dibalik hal itu.

"Lo lagi bokek Nay?" Rey memecahkan keheningan yang terlihat jelas antara keduanya. Rey hanya berniat menghibur Nayla.

"Kalaupun ga, gue traktir yuk. Khusus hari ini gratis" Rey berbicara seolah tengah menawarkan diskon pada pembeli. Tidak ada tanda-tanda Nayla akan mengeluarkan suaranya. Mood nya sedang tidak baik-baik saja, dan Nayla tidak tau mengapa.

Jam istirahat terlewat begitu saja, meskipun perut Nayla keroncongan sejak pagi, dia lebih memilih diam ditempat duduknya.

"Nayla" teriakan seseorang terdengar semakin mendekat. Ini sudah jam istirahat ke dua yang tadinya juga akan dilewati Nayla dengan diam dikelas.

Nayla menoleh saat mendengar suara Kaka sembari berjalan kearahnya. Nayla hanya melihatnya tanpa niatan menyapa.

"Kantin yuk Nay" Nayla menggeleng.

"Lo sendirian disini, emang tidak takut?" Nayla mengedarkan pandangannya, benar saja hanya dia yang ada dalam kelas ini.

"Nanti kalau ada barang yang hilang, tersangka utamanya adalah lo" tunjuk Kaka kearah Nayla dengan menakutinya. Kaka tau Nayla belum makan sejak tadi, maka nya dia bersikeras kekantin bersama Nayla.

"Ya udah gimana lagi" Gumam Nayla menanggapi perkataan Kaka.

"Gue lapar tapi Nay, kualat lho nanti sama pacar" ucap Kaka sambil mengangkat sebelah alisnya keatas. Rey tersenyum melihat Nayla yang akhirnya mau keluar dari kelas, meskipun tidak bersama dengannya. Rey hanya bisa mengintip dari jendela.

Dengan sangat terpaksa Nayla berada dikantin seramai ini. Ini adalah ulah Kaka yang menariknya dengan tidak sabar hingga menuju ke kantin. Nayla kehilangan nafsu makannya hari ini, padahal sejak tadi dia belum makan apa-apa.

"Sebentar gue pesen dulu" Nayla mengangguk patuh layaknya pembantu dengan majikan.

Tak butuh waktu lama untuk Kaka kembali kemeja dengan membawa dua mangkok bakso. Kaka pikir Nayla sangat kelaparan, jadi dia putuskan untuk membawa bakso nya terlebih dahulu dan membiarkan Pak Jaja selaku pemilik warung bakso dikantin yang membawakan minumannya.

"Dimakan, terus jangan pake sambal" Nayla mengangguk lesu. Entah mengapa hari ini dia tidak bersinergi untuk sekedar mengurus perut yang sejak pagi belum diisi makanan.

Kedua sejoli ini tampak seperti dua pasang kekasih yang tak mau lepas, seperti baru jadian. Kemana-mana harus berdua. Tapi nyatanya? Kaka hanyalah sahabat bagi Nayla dan sebaliknya.

"Besok lo tampil Nay?" tanya Kaka disela-sela mengunyah bakso.

"Hm" sebagai jawaban, Nayla hanya berdehem pelan.

"Semangat ya Nay, pasti lo bisa" Kaka ini memang tidak berubah sejak dulu, selalu menyemangati Nayla dengan caranya sendiri, namun dibalik itu semua, bagi Nayla dia adalah seseorang yang terbaik yang dia punya.

"Lo besok mau nyanyi lagu apa?"

"Maafkan aku terlanjur mencinta"

"Lo curhat?" muka seserius ini masih dibilang becanda? Nayla menggeleng pelan sambil tetap menikmati bakso.

"Terus barusan?"

"Itu judul lagu ih" balas Nayla lalu memanyunkan bibirnya sebagai tanda kekesalannya.

"Hahahaha. Muka lo Nay" tawa Kaka akhirnya pecah, membuat pengunjung kantin menatap mereka berdua atau lebih tepatnya menatap laki-laki dihadapan Nayla yang tengah memamerkan tawa manisnya itu.

"Cantik?" tanya Nayla sewot.

"Jelek. Hahahaha" setelahnya dengan seenak jidatnya Kaka mengacak-acak rambut Nayla, yang membuat Nayla lebih kesal, namun kekesalannya lenyap setelah tawa itu meledak untuk kedua kalinya, karena setelahnya Kaka tersedak bakso yang dikunyahnya sendiri.

"Hahaha. Kualat" dibalas tawa Nayla senang, karena Kaka yang tersedak makanannya sendiri.

Langit menatap keduanya dari kejauhan, kata mundur terbesit dari benak Langit kali ini. Benar-benar mundur.

Tbc.

***

Purworejo,

Meet Again ; Ketika Kisah Belum Usai [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang