Deska Naekafa Erland

Start from the beginning
                                    

"Lo ada masalah?" Nayla menggeleng pelan sambil menunduk. Nayla paling tidak bisa menutupi kebohongannya dengan Kaka yang notabene nya adalah teman masa kecilnya.

"Gue teman lo?" tanya Kaka dengan nada serius. Nayla mengangguk sebagai jawaban setuju.

"Gue merasa orang asing didekat lo Ayla" Nayla menoleh mendengar panggilan masa kecilnya dulu.

"Mana Ayla teman gue yang selalu semangat? Bahkan gue kangen waktu lo selalu bicara panjang lebar tanpa titik"

"Cerewet maksud lo?" tanya Nayla kesal.

"Iya lah Ayla yang cerewet bukan Nayla yang dingin" Nayla menatap tajam retina Kaka, yang membuat Kaka merasa bersalah dengan apa yang baru saja diucapkan.

"Lo emang teman gue Ka"

"Cuma lo yang berani bicara jujur" Nayla berbicara jujur saat ini, karena sampai detik ini tidak ada yang berani bertanya tentang perubahan drastis yang dialaminya. Jangan kan bertanya, dekat dengannya saja enggan. Jangan ditanya kenapa, karena masalah utama adalah aura dingin yang melekat dalam diri Nayla.

"Kemana aja?" Kaka berdecak tidak suka. Teman mainnya yang selalu semangat berbicara menjadi seseorang yang pelit dengan kosa-kata.

"Lo lupa? Kelas 2 SMP kan gue pindah ke Malang" Nayla hanya mengangguk dua kali setelah dia ingat tentang perpisahannya dulu, Nayla terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga terlalu cuek dengan keadaan sekitar.

"Lo yang kemana aja? Gue udah coba kontak lo tapi nihil"

"Ganti hp"

"Lo mau cerita sesuatu gitu mungkin, Ay?" Nayla tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala nya pelan. Sudah lama sekali dia tidak mendengar panggilan masa kecilnya. Ayla, panggilan favoritnya dikalangan teman dekat nya.

"Lo punya masalah dan gue tau itu"

"Gue belum siap. Maaf" Gumam Nayla lalu kembali mengarahkan pandangan nya kearah bunga mawar.

"Tapi lain kali lo harus cerita" Nayla mengangguk patuh mendengar perkataan Kaka.

"Nay, musik nya bisa dikecilin ga volumenya?"

"Ha?" melihat Kaka menatap handphone nya yang tergeletak disampingnya akhirnya dia mematikan musik yang ternyata berbunyi sejak tadi.

"Makan yuk Ay, Ayla?" goda Kaka dengan terus menyebut nama Ayla didepan Nayla.

"Nayla, Kaka"

"Apa Ay? Ayla?" Kaka sangat senang menggoda Nayla sejak dulu.

"Deska Naekafa Erland!"

"Apa Nayla Nacaella Putri?"

"Bodo amat Ka"

"Nah gitu dong, gue suka dengar lo banyak omong kek gini. Sering sering ya Ayla" lalu Nayla menjewer telinga kanan Kaka yang semakin membuatnya kesal hingga suara mengadunya terdengar lebih keras dengan terus mencoba melepaskan tangan Nayla dari telinganya.

"Gue beliin es krim, tapi lepas" mendengar iming-iming es krim, segera mungkin Nayla melepas tangannya dari telinga Kaka

***

"Besok sekolah gue antar" Nayla terus saja memakan es krim yang beru saja dibelinya, tanpa mempedulikan ocehan Kaka sejak tadi.

"Ayla"

"Heum?"

"Besok sekolah gue antar" ulang Kaka jengah, sudah dari tadi dirinya mengajak Nayla bicara namun hanya tidak ada kata yang terucap dari bibir Nayla. Miris.

"Em" Nayla terlihat sedang berpikir sambil terus memakan es krim.

"Jangan sok-sok an mikir. Ga ada penolakan titik." Nayla hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara penolakan karena mulutnya yang terlalu penuh dengan es krim.

Mungkin orang lain berpikir tentang bagaimana seseorang bisa dekat sekaligus nyaman berada disekitaran orang beraura dingin, namun lagi-lagi pertanyaan itu dapat ditepis jauh jauh dari pemikiran karena bagaimanapun seseorang bisa merasa nyaman berada disamping orang beraura dingin maupun tidak. Nyaman seseorang tidak bisa diukur dengan hal tersebut jika mereka percaya akan sisi lain dari orang itu.

"Nayla" panggilan tersebut membuat dua sejoli yang tengah asik menikmati lembutnya es krim menoleh kearah sumber suara.

"Lo sama siapa?" Nayla hanya menoleh sebentar lalu kembali menikmati es krim yang sebentar lagi akan meleleh karena panasnya sinar mentari.

"Nay? "

"Heum!" Nayla berdehem sembari memutar bola mata nya kesal. Langit, entah mengapa dirinya selalu saja bertemu dengan pemuda itu.

"Telinga masih berfungsi, kan?" Nayla memutar bola matanya jengah, memangnya laki-laki yang baru saja mengajak nya bicara tidak mendengar deheman Nayla?

Saat Nayla ingin menjawab tiba-tiba saja notifikasi telepon terdengar nyaring yang membuat si empunya mau tidak mau harus mengangkat telepon nya. Sedangkan Nayla, dia memegang pergelangan tangan Kaka untuk mengajaknya pergi dari tempat ini sebelum laki-laki tersebut mengakhiri telepon.

"Nay" saat menoleh kearah Nayla tadi, dia hanya tersenyum kecut. Ternyata Nayla sudah tidak ada ditempat yang sama. Dia sudah pergi dari sini, bahkan tanpa pamitan dengannya.

"Huft" Langit hanya bisa menghela nafasnya pelan.

Dia ingat mengapa Nayla pergi begitu saja tadi. Mungkin karena dirinya terlalu banyak ikut campur akan hidup Nayla. Bukan kah Nayla yang mengucapkan nya waktu itu?

"Gue akan bantu apapun masalah lo Nay"

"Gue bukan Ayla, sekali lagi gue tegasin gue bukan Ayla"

"Gue bantu lo bukan karena lo mirip Ayla juga Nay"

"Terserah!"

"Beban lo akan terbagi kalau lo mau membuka pikiran lo tentang tawaran bantuan gue"

"Gue paling tidak suka orang lain ikut campur masalah kehidupan gue"

"Gue tidak ikut campur apapun tentang hidup lo. Gue cuma mau bantu meringankan beban lo. Udah, cuma itu aja Nay"

Sial. Argumennya waktu itu menjadi boomerang hari ini. Langit akui, Langit sedikit cemburu dengan laki-laki yang bersama Nayla itu. Mungkin bukan sedikit cemburu, tapi memang benar-benar cemburu.

Nayla bisa membagi kebersamaan beserta rasa nyaman nya kepada laki-laki itu, tapi mengapa tidak bisa dibagi dengan dirinya? Langit merasa kesal kali ini. Bagaimana pun, hati nya masih terus berkata bahwa Nayla adalah Ayla.

Ayla mantan pacar nya dulu.

Tbc.

***


Purworejo,

Meet Again ; Ketika Kisah Belum Usai [End✓]Where stories live. Discover now