Wina mengacak-acak rambutnya, bingung. “Gue gak mau ada hubungan apa-apa lagi sama Kak Axel.”
“Kita gak minta lu menjalin hubungan apapun sama dia, lagian dia udah punya pacar. Kita cuma mau tahu perasaan lu, Win.” Ujar Rifka.
Nazwa mengangguk enggan, “yah,… Tapi bendera kuning juga belum melambai sih.”
“Zwa!” Rifka memelototi Nazwa, yang dibalas cengiran oleh gadis itu.
Wina memutar matanya, “enggak, gue gak ada rasa lagi sama dia.” Karena gue gak punya hak untuk menumbuhkan perasaan setelah apa yang gue lakukan di masa lalu. “Gue nyari dia karena penasaran. Emang kalian gak penasaran, ketua BEM tapi malah gak kelihatan batang hidungnya? Dan gue bukannya nerima perlakuan dia selama ini ke gue, tapi emangnya gue bisa apa lagi? Kayak yang tadi gue bilang, dia itu senior, dan kita lagi masa ospek, ya jelaslah kita gak punya suara. Berlaku juga untuk masalah Kak Sonia, gue bukannya ngerasa bersalah tapi gue takut, dia galak, sama aja kayak Rifka yang bahkan ciut waktu dia ngomong kan?” Sindir Wina.
Rifka menatap arah lain dengan canggung.
Wina memandang kedua temannya datar, sekuat mungkin untuk menyembunyikan emosinya. Dia tahu, dia baru saja beralasan. Bahkan sebenarnya jawaban itu baru terpikirkan, karena Wina sudah memutuskan dan dia berniat untuk mempertahankan keputusannya.
Nazwa masih curiga, jelas, tapi melihat kekeras kepalaan Wina untuk jujur akhirnya gadis itu mengalah. Dia yakin pada akhirnya Wina akan terbuka, mungkin bukan sekarang, dan Nazwa akan mencari kesempatan itu lagi. “Oke kalau itu yang benar-benar lu rasain. Untuk saat ini, kita percaya deh.” Ucapnya tak tulus, “toh belum ada yang bisa dipastikan, jadi gak akan ada yang berubah.” Lanjutnya.
Wina berdecak, menyadari bahwa dia tak benar-benar meyakinkan siapapun. Bahkan termasuk dirinya.
“Jadi untuk sekarang, udah gak usah dipikirin lagi, mending kalian tulis tuh surat cinta. Udah gak dapat tanda tangan, jangan ditambah gak berhasil ngumpulin ini surat juga.” Ujar Nazwa lagi, melambaikan suratnya didepan Wina dan Rifka.
Rifka memandang surat itu dengan takjub, “lu udah selesai, Zwa? Cepat banget, kapan lu nulisnya? Beneran buat Kak Andra bukan Kak Riko?”
“Ya ampun, bukan surat cinta beneran ini, buat apa serius-serius banget nulisnya. Lagian, ngapain juga gue harus nulis buat Riko? Kan gue udah bilang, gue mau nulis buat Kak Andra. Dibanding Riko, Kak Andra lebih cocok buat selera gue, konyol tapi ngeselin, bikin gemes!”
“Tapi kan,…”
“Udahlah, lu aja yang nulis buat tuh mahluk satu.” Ucap Nazwa cuek sambil membubuhkan tanda tangannya di atas surat.
Wina cemberut, mengapa topik pembicraan mereka bisa berubah secepat ini? Dia belum menata hati, sekarang dia harus memikirkan untuk menulis surat kepada siapa. Jelas bukan Kak Axel kan? Stop, Win! Jangan Axel lagi, mending jauhin aja tuh cowok. Gak ada baik-baiknya juga lu sama dia saling kenal lagi kan.
“Kalau lu mau nulis surat buat Kak Axel, lanjut aja Win. Gak usah takut sama siapa-siapa, kan hak lu buat nulis yang lu suka, kalau ingat kejadian tadi gue jadi gemas, yang salah cowoknya kenapa jadi lu yang kena imbasnya.” Nazwa menggenggam pulpennya kuat, cukup membuat Wina percaya gadis itu bisa saja mematahkannya. Tapi lirikan gadis itu jelas memprovokasi, seakan menantang Wina. “Kapan lagi coba?”
Tapi Wina menggeleng, dan memberikan senyum seceria mungkin. Menolak terpancing! “Gak ah, gak mau cari gara-gara, gue mau ngejalani hari yang adem-adem aja. Mending gue tulis buat Kak Riko juga.”
“Pengecut.” Nazwa menggoda.
“Biarin,” balas Wina menjulurkan lidahnya main-main.
Tapi pada akhirnya, dia benar-benar tak bisa membayangkan kata-kata apa yang bisa dia tulis untuk menjadi surat cinta kepada Riko.
***
Satu jam berlalu, dan dengan enggan akhirnya Wina menyerahkan surat dan buku tanda tangannya. Dia tak yakin akan surat yang dia tulis, lebih tak yakin lagi terhadap buku tanda tangan yang tak lengkap. Jika itu diperiksa, sudah jelas dia akan menerima hukuman. Tapi pada titik ini, dia sudah pasrah, mungkin hukuman akan lebih baik daripada menghadapi Sonia dan Mika lagi.
Beruntungnya, surat cinta tidak perlu dituliskan nama pengirimnya. Membuat Nazwa merasa itu sangat disayangkan, tapi toh dia sudah menadatangani suratnya jadi Wina tak mengerti mengapa gadis berambut sebahu itu merasa kecewa dengan peraturan itu.
Setelah akhirnya mereka melakukan beberapa game dan menyanyikan lagu-lagu permainan bersama, pada jam lima sore mereka dibubarkan. Istirahat sore dan makan malam. Mereka akan dikumpulkan lagi jam delapan, dengan agenda fashion show per kelompok. Wina tidak tahu apa fungsinya itu, tapi sebagai objek ospek yang bisa dilakukannya hanya mengikuti peraturan kan?
—yang jelas, selama pertemuan dia merasa tenang karena tak bertemu langsung dengan Mika dan Sonia. Hatinya masih belum siap.
“Nata!”
Wina mengikuti kelompoknya kembali ke area jurusan mereka, saat seorang memanggilnya, gadis itu berbalik, dan menemuka Ridan datang menghampiri.
Rifka berdiri di samping Wina. Menemani gadis itu dengan setia.
“Ini,” berdiri di depan Wina, dengan senyum cerah Ridan memberikan sebuah kertas yang terlipat. “Gue ngerasa bersalah nulis surat cinta buat orang lain, padahal seharusnya lu jadi yang pertama.”
Wina menggeleng pelan, dan kembali berbalik. Menggandeng Rifka dia berniat menghampiri teman-teman satu kelompoknya yang sekarang mencuri-curi pandang ingin tahu.
“Nata, lu boleh gak jawab perasaan gue, tapi baca surat dari gue kan gak ada salahnya. Anggap aja ngasih effort karena gue udah sepenuh hati nulis buat lu. Gue yakin lu bukan gadis setega itu kan?” Suara Ridan terdengar menyedihkan dan itu menimbulkan simpati.
Wina menghela napas, menoleh ke belakang akhirnya dia mengambil surat itu. “Cuma baca aja kan?”
Dari sudut matanya, Wina bisa melihat Ridan tersenyum, menaik turunkan alisnya dengan ceria. “Iya, dibaca dan diresapi. Siapa tahu goyah.”
Wina tak menggubrisnya, dan menarik Rifka pergi meninggalkan Ridan yang berteriak dibelakangnya mengingatkannya untuk membaca.
Rifka menatap Wina penuh arti, yang hanya dibalas lirikan singkat oleh gadis itu. “Ridan itu, walau anaknya berisik tapi pendiriannya kuat juga ya ngejar lu.”
Wina menoleh, mengernyitkan dahinya. “Gue kira lu gak suka sama dia, baru tadi siang lu nuduh dia mesum.”
Rifka mengedikan bahunya. “Ya memang, habis lagaknya sok keren, gue gak terlalu suka. Gue cuma salut aja dia konsisten banget ngejar lu.” Ucap gadis itu, lalu sebelum sempat Wina membalas kata-katanya dia sudah melirik surat ditangan Wina. “Ngomong-ngomong, gue penasaran dia nulis apa, coba buka.”
Wina tertawa kecil melihat rasa penasaran Rifka yang lapar dengan gosip. Lalu sebelum masuk ke tenda dia membuka lipatan surat, dan membacanya. Hanya untuk membuat dia dan Rifka geleng-geleng tak percaya. Seharusnya mereka tak perlu membuang-buang waktu untuk ini.
“Nata, gue suka sama lu, tapi ini bukan waktu yang tepat buat nembak lu.
Udah gitu aja.
— R —"
***
Suka,…
Aku tak mengerti apa arti kata itu bila menyangkut dirimu.
Tak mengerti meski kesadaranku akan kau pertama kali memukul dadaku.
Tak mengerti meski mataku yang terpaku pada sosokmu di depan podium menolak untuk berpaling.
Tak mengerti meski rasa jarimu bermain di atas kulitku menetap dan tak hilang.
Tak mengerti meski bayanganmu di tepi jendela mengaburkan kesadaranku.
Tak mengerti meski ingatan mu pada kenangan mengetuk hatiku.
Aku tak mengerti sampai aku tahu kau tak lagi ada dalam jangkauanku.
Jadi,…
Bagaimana bisa kutuliskan surat cinta jika tak ada lagi hati yang tersisa?
Pada akhirnya aku sadar, aku tak benar-benar mengenalmu...
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 19
Start from the beginning
