“Lu—bisa tutup mulut? Gue gak lagi ngomong sama lu ya,” ujar Mika dengan amarah yang tertahan.

Nazwa menghela napas pelan, dan mengangguk. Tapi gadis itu cukup kuat untuk tetap berdiri di samping Wina.

“Gila,” Mika tertawa tanpa rasa humor. “Anak baru sekarang pada songong-songong banget, kayak gak pernah diajarin sopan santun!”

Gertakan gigi bisa terdengar cukup jelas disamping Wina, itu milik Nazwa. Sementara Rifka sudah menundukan kepala seakan berharap lubang semut dibawah kakinya mampu menghisapnya masuk. Wina juga marah, namun dia cukup pintar untuk menyembunyikan itu. Sambal menggenggam tangan Nazwa agar gadis itu tak cukup impulsif untuk memperburuk keadaan, Wina berusaha sebaik mungkin membuat tubuhnya santai dan tak mencerminkan perlawanan.

—yang juga membuat Mika seakan semakin punya kuasa untuk berbicara.

“Kalau gak ngerti gimana ngeja kata hormat, mending pulang sana. Cari orang tua kalian, minta ajarin. Gak usah jadi mahasiswa, hasilnya cuma jadi sampah masyarakat!”

Wina bisa merasakan bahwa Nazwa sudah bergerak, itu membuat hati gadis berambut panjang itu mencelos. Tapi sebelum Nazwa bahkan benar-benar bisa menghampiri Mika dengan kemarahan yang bisa Wina rasakan dari genggaman tangannya, seorang pemuda sudah merangkul gadis itu, Rivaldo Kollin—Riko.

“Wuah, Mik, santai. Kata-kata lu terlalu tajam tuh. Kita gak lagi di penjara, gak usah kasar.” Nada suara Riko terdengar ceria, tapi ketika Wina menoleh ada tatapan dingin di mata pemuda itu sekalipun senyum terukir di wajahnya. “Hati-hati, salah-salah nanti mereka yang bilang lu gak sopan.”

Mika berdiri, amarah bergulung-gulung di matanya, siap akan meledak.

Tapi kemudian, Sonia menurunkan ponselnya, menatap Riko lamat-lamat. “Jangan ikut campur, Rik.”

“Sonia,…”

“Jangan ikut campur, ini bukan urusan lu.” Tak ada amarah dalam kata-kata Sonia, tapi entah bagaimana itu justru lebih menekan daripada saat Mika membentak tadi. Gadis cantik dengan lensa kontak cokelat itu maju selangkah, berdiri di hadapan Wina, namun sejak awal dia bahkan tak menatap gadis itu.

“Sonia, Axel ga bakal—”

“Jangan bawa-bawa Axel!” Untuk pertama kalinya, emosi menyelimuti kata-kata gadis itu, dengan keanggunan yang dingin dia menatap Riko penuh intimidasi. “Ini gak ada hubungannya sama lu ataupun Axel, jadi jangan berani-berani mengikutsertakan dia.”

Wina tidak mengerti mengapa suasananya jadi seberat ini, padahal seharusnya ini hanya masalah tanda tangan. Apakah dia benar-benar telah memancing emosi Sonia hingga sebesar itu?

“Jadi, siapa nama lu?”

Tersentak, Wina menatap Sonia yang akhirnya memandangnya. Ekspresi gadis itu tak bisa dibaca, dan Wina menelan ludahnya. Masa iya dia gak tahu nama gue? “Natasha Vienna, Kak.”

“Natasha,…” Sonia melafalkan nama itu seakan penuh arti, begitu tenang, tapi mematikan. “Gue penasaran, gimana perasaan lu karena udah bikin senior-senior lu bertengkar karena lu? Apa itu menyenangkan?”

“Son, ini gak ada hubungannya sama Natasha.”

Sonia melirik Riko, “lu masih di sini, Rik? Gue kira wakil ketua BEM punya banyak kerjaan dari pada harus merhatiin hal kecil kayak gini.”

“Gue cuma—”

“Jadi, Natasha, ngeliat senior-senior kamu bertengkar kayak gini, baik-baik aja buat kamu?” Sonia bahkan tak lagi memandang Riko saat memotong kata-kata pemuda itu begitu saja. Intonasinya berubah, begitu pula pemilihan kata-katanya. Fokusnya penuh pada gadis dihadapannya. “Atau, jangan-jangan kamu bangga karena udah buat senior kamu memperhatikan kamu sampai seperti ini?”

Clockwork MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang