“Dia gak gatel!” Wina membantah.

“Oh, lu yang gatel?”

Please dah Zwa,” memberikan tatapan malas, Wina memijat kepalanya yang tiba-tiba saja sakit.

“Ngusap bibir, nepuk kepala, main mata di depan ceweknya, itu gak gatel?”

“Kapan dia main mata sama gue di depan ceweknya?”

“Waktu pertama kali lu minta tanda tangannya Kak Sonia?” Rifka sekarang malah ikut-ikutan. Kayaknya mereka emang klop!

Wina mengerang, kalah. Lalu memeluk lutut dan menguburkan wajah di balik tangannya. “Terus gue harus gimana dong?”

“Ya hadapi dengan berani lah, tanamkan jiwa istri tua di dada lu. Biar lu gak gampang di intimidasi.”

Rifka memijat kepalanya yang tiba-tiba pusing. “Jangan ngajarin Wina yang aneh-aneh Zwa.” Ucapnya lemah, tapi Nazwa hanya membalas dengan cengiran, tampaknya menikmati menggoda gadis itu. “Tapi Win, Nazwa benar, lu emang harus ngehadapi itu. Kita kayak gini buang-buang waktu lho. Lu harus secepatnya minta tanda tangan mereka.”

Wina mengintip dari balik tangannya yang memeluk lutut. “Tapi kok gue takut ya.”

“Sebuah perasaan bersalah dari seorang selingkuhan.”

“Zwa!”

“Oke-oke,” Nazwa mengangkat kedua tangannya, indikasi bahwa dia tidak akan menggoda Wina lagi.

Meski Wina agak tak percaya sebenarnya.

“Jadi, mari kita simpulkan. Lu bukan selingkuhannya?”

Wina mengangguk.

“Lu juga gak ngerebut pacarnya?”

Sekali lagi gadis itu mengangguk.

“Dan lu juga gak ngegodain pacarnya.” Melihat Wina mengangguk untuk ketiga kalinya, Nazwa melanjutkan. “Kalau gitu ngapain takut?” Gadis berambut pendek itu kemudian berdiri, dan mengulurkan tangan pada Wina. “Ayo hadapi, kalau lu segitu pengecutnya, tenang gue bakal temanin lu.”

Wina memutar mata, tapi dia tetap meraih tangan gadis itu untuk membantunya berdiri.

“Lagian, jadi diri sendiri kan bukan dosa, Win. Kalau pacarnya goyah, ya itu kan bukan salah lu.” Nazwa nyengir.

Wina menghela napas, pasrah. Nazwa tetaplah Nazwa.

***

“Segitu gak pentingnya ya kita sampai lu baru minta tanda tangan di detik-detik terakhir kayak gini?” Mika menyandarkan punggungnya pada tiang alun-alun bambu. Nada suara gadis itu membuat mereka jadi pusat perhatian dalam sekejap. “Lu nganggap kita ini apa sebenarnya, hah?!”

Wina menggigit bibir dalamnya, ragu untuk menjawab. Karena terkadang, kemarahan melahirkan pertanyaan retoris, dan Wina tidak mau terjabak. Menunduk, gadis itu memandang Sonia yang duduk bersila di sebelah Mika. Wajahnya datar, hanya bermain dengan ponselnya.

“Gak punya mulut? Gak bisa jawab?”

Oke, anggap itu bukan retoris. “Maaf kak, saya gak maksud—”

“Gak maksud menganggap gak penting? Cuma meremehkan aja?”

Oh bukan retoris, cuma pertanyaan cewek PMS aja. “Enggak kak, bukan gitu.”

“Terus apa?”

Save the best for last, Kak?”

Wina menegang, begitu pula Mika yang kemudian melotot dengan penuh amarah. Senior yang tampaknya mengalami pms sepanjang tahun itu kemudian menunjuk Nazwa yang berdiri tepat di samping Wina.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now