“Udah dapat kertas masing-masing kan?”
Sebagian besar maba menyerukan jawaban dan anggukan.
Amanda menepukan tangannya sekali, “oke! Jadi kertas itu, untuk kalian menuliskan surat cinta.” Memberikan jeda sejenak dan membiarkan adik-adik kelas dihadapannya menyerukan kekagetan mereka masing-masing, Amanda tertawa kecil. “Jadi tugasnya seperti ini. Kalian harus menuliskan surat cinta untuk salah satu senior, yang akan dikumpulkan satu jam lagi bersama buku tanda tangan kalian. Sudah terisi penuh kan?”
Wina menelan ludah, dia baru ingat tanda tangannya kurang milik Mika dan Sonia.
“Surat cinta yang paling indah, nanti akan diberikan hadiah. Jadi kalian harus berusaha membuatnya sebagus mungkin ya, jangan asal-asalan,” ujar gadis itu lagi. Kemudian Amanda menghitung waktu mundur dan menyalakan timer hingga satu jam ke depan. Memperingatkan bahwa akan ada hukuman bagi yang terlambat mengumpulkan, lalu menyudahi pertemuan itu.
Rifka berdiri, membersihkan rumput yang menempel pada celana trainingnya sambil menatap Wina yang sekarang wajahnya diliputi kecemasan. “Kenapa, Win?” Tanya gadis itu, berjongkok di depan Wina.
Menoleh, Wina meremas pelan salah satu lengan Rifka, “gue belum dapat tanda tangan Kak Mika sama Kak Sonia.”
“Hah?! Ya udah minta sekarang!”
“Gimana? Kak Mika kayaknya benci banget sama gue.”
“Iya sih,” Rifka akhirnya kembali duduk. Berusaha ikut memikirkan solusi.
Duduk berhadapan, Rifka dan Wina menampilkan wajah kusut, membuat Nazwa yang baru saja datang mengernyit bingung. Padahal mereka baru berpisah beberapa jam setelah sampai ke tempat ini, apakah dalam beberapa jam saja keduanya jatuh dalam situasi yang sulit?
“Kalian kenapa?” Nazwa ikut duduk di antara Rifka dan Wina, membentuk segitiga dipinggir lapangan itu.
“Zwa?! Kok baru muncul?” Seru Rifka, agak menuntut yang disetujui oleh tatapan Wina yang seakan meminta penjelasan.
“Kalau-kalau kalian lupa, kita beda jurusan, dan tenda kita ujung-ujungan, gimana bisa nyamperin kalian. Lagian tanpa Mama, masa kalian gak bisa mandiri?” Nazwa berdecak gemas, kemudian melipat kakinya bersila. “So? Kenapa muka kalian kusut banget? Bingung mau ngasih suratnya ke siapa?”
Wina dan Rifka belum sempat menjawab ketika Nazwa menggoyang-goyangkan satu jari dihadapan mereka. Memotong kata-kata yang baru saja akan dilontarkan Rifka.
“Kayak gitu aja di buat bingung sih. Lu Win,” Nazwa menunjuk Wina, “ke Kak Axel. Terus lu, Rif ke Kak Riko. Sementara gue ke Kak Andra, baru-baru ini gw menyadari kalau dia imut juga.” Nazwa mengangguk-angguk sambil mengusap dagunya, persis om-om mesum. “Hhh,… Ternyata gue gak salah ambil jurusan, banyak cowok kece di tempat gue.”
Fix, Nazwa dan Rifka bertukar tubuh!
“Zwa, bukan karena itu.” Rifka memandang Nazwa pasrah.
“Lho, terus?”
“Gue belum minta tanda tangan Kak Mika sama Kak Sonia.” Wina menjawab.
Nazwa menggeleng horor dengan berlebihan, “yang satu pacar mantan pacar, yang satu squad ceweknya, dan dua-duanya kayaknya gak suka sama lu. Alamat perang dunia ketiga ini sih.”
“Mika iya, gua gak yakin sama Kak Sonia, gue kan gak pernah cari gara-gara sama dia.”
“Lu nya gak cari gara-gara, tapi cowoknya kayaknya gatel sama lu. Cewek mana yang tahan ngeliat cowoknya flirting sama cewek lain?”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 18
Start from the beginning
