satu

8K 141 5
                                    

Angin pagi membelai rambut dan rok panjang milik Shella. Sambil menyandang ransel di sebelah bahu dia berjalan anggun, tersenyum hangat membalas sapaan orang-orang. Cara dia berjalan emang agak tak normal. Namun, wajahnya yang memikat menyamarkan keadaan dirinya yang sebenarnya.

Shella duduk di kursinya. Spontan mengeluarkan buku.

"Shel, presentasi SOJ-nya jam kedua. Lo udah siapin file-nya, 'kan?" tanya Recky, sang ketua kelas. Dia salah satu cowok yang naksir Shella dan dari dulu sampai sekarang selalu ditolak tanpa alasan. Padahal anak cewek kelas administrasi rata-rata mengincar dirinya.

Shella menyampirkan rambutnya ke belakang kuping, tersenyum lembut. Sebelah lesung pipinya membuat Recky terkesima. Seakan tak terbiasa dengan senyum yang selalu disaksikannya hampir setiap hari di sekolah.

"Iya. Udah gue siapin. Tenang aja."

Lama tertegun, Recky spontan menelan ludahnya. Berdeham. Mencoba tersenyum. Dengan anggukan dia berjalan pergi.

Shella kembali melihat bukunya. Dia sentuh lengan atas, menunduk, meringis pelan. Dia sengaja tak melilit lebam di lengannya dengan perban. Perlahan senyumnya sinis. Tak adakah yang tahu bahwa di balik seragam rapi yang dia kenakan hanya bertujuan untuk menutupi luka di tubuhnya?

Kakinya masih ngilu. Tongkat bisbol tadi malam lumayan mengerikan.

"Oi Shel!" seru seseorang sembari duduk dan menyenggol lengan Shella yang dia pikir tengah melamun. Shella sontak terperanjat, menahan mati-matian ngilu berdenyut di lengannya yang baru saja disenggol dengan sengaja.

"Aish ... sialan lo," umpat Shella melirik jengkel. Evelyn yang duduk di sampingnya mengernyit bingung.

"Luka lagi?" tanya Evelyn tak habis pikir.

Shella menyandarkan punggungnya di dinding, menghela napas menghadap temannya. "Hm."

"Jangan bilang bokap lo marah karna ulangan kemaren!"

Shella mengangkat bahunya tak acuh. Evelyn spontan menepuk keningnya frustasi.

"Nilai lo 98, Sheel!! Dan lo nggak protes kenapa lo masih dipukul padahal nilai lo udah paling tinggi!?"

Shella meringis, mencubit lengan cewek kucir kuda yang tengah menggebu di depannya. "Berisik!"

"Ishh!" ringis Evelyn lalu mendecak. Dia mendekat. "Mana lukanya? Parah?" bisiknya pada Shella.

"Nggak kok." Shella mengibas tangannya. Duduk seperti semula. "Dah biasa, juga."

Evelyn menghempas napas. Menyerah. Temannya itu memang tak pernah mau memperlihatkan lukanya pada Evelyn. Alasannya karena Shella tak mau berpikir perhatian yang akan Evelyn tunjukkan nanti itu palsu. Shella muak dengan kepura-puraan. Padahal Evelyn sudah jatuh-bangun membuktikan kalau dirinya benar-benar perhatian.

Yah. Mungkin Shella hanya butuh waktu.

Evelyn memperhatikan Shella yang masih membaca buku. "Eh, Shel."

"Hm."

"Leon kemaren ... gimana?" tanya Evelyn hati-hati.

"Gimana apanya?" balas Shella masih tanpa menoleh.

"Dia kan nembak elo kemaren."

"Oh. Biasa."

Evelyn menyeringai. "Lo tolak lagi?"

Shella mengangkat bahunya. Evelyn menggeleng semringah. Dia raih buku dari dalam tasnya.

"Yang ngebet elo playboy semua sih ...."

Shella mendengus. "Mana ada di sekolah kita istilah cowok baik-baik. SMK cuy. Fakboy semua."

Evelyn yang terkekeh tiba-tiba tertegun, menatap Shella serius. Shella terpaksa menoleh dan mengernyit.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now