dua puluh sembilan

1.7K 65 0
                                    

Malam semakin larut. Hujan juga semakin deras. Gemuruh mendominasi. Davin menutup seluruh dinding kaca dengan gorden raksasa. Dia pastikan keamanan rumah sudah siaga. Dia matikan lampu dapur dan ruang tamu. Membiarkan lampu tangga menyala. Pelan-pelan dia buka pintu kamarnya yang dihuni Shella, melongok, kemudian masuk.

Shella sudah terlelap.

Davin coba mendekat. Mengamati wajah sembab Shella yang entah berapa jam betah menangis. Wajah pucat milik gadis yang entah sudah makan entah belum. Davin tarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh Shella dan menyisakan bagian kepala. Menatap wajah itu lebih lama lagi, kemudian menghela napas. Petir menggelegar sedikit mengagetkannya. Dia lihat dinding kaca yang belum ditutupi gorden, membuatnya berjalan ke sana untuk menutupi gambaran badai dan kilatan petir di luar sana. Baru saja beranjak dari sana, petir menggelegar lagi. Bersamaan dengan padamnya listrik yang membuat ruang nan terang itu redup diterangi cahaya minim lampu darurat.

Namun, bukan itu yang membuat Davin termangu.

Gadis itu terduduk dari tidurnya. Memandang ke arah Davin. Memasang wajah cemas nan kentara.

Davin bisa tebak arti kecemasan gadis itu.

Petir berdentum lebih keras dan berdurasi lumayan lama. Davin lihat gadis itu menutupi kedua telinganya setelah tak sengaja berteriak. Gadis yang takut pada petir merupakan ciri khas mereka yang kesepian. Entah bagaimana cara mereka melewati ketakutan itu jika tak ada siapa pun yang bisa mereka andalkan untuk menemani detik-detik penuh sesak seperti ini.

Davin berjalan menutup pintu kamar. Lalu mengitari kasur, kemudian duduk di samping Shella. Menarik pelan tangan Shella yang sebelumnya menempel di telinga. Tersenyum ketika Shella menoleh dengan mata sembab penuh rasa takut, menatapnya gusar.

Mata sembab itu lagi-lagi menangis.

"Takut..."

Davin genggam tangan itu. Berkata pelan, "Tidur aja. Gue temenin."

Shella mengangguk. Merebahkan kembali kepalanya ke atas bantal. Meringkuk ke arah Davin yang tetap duduk. Dia pejam matanya saat Davin lagi-lagi menyelimutinya. Davin terpaksa memposisikan duduk bersandar di papan kasur hanya agar Shella dapat leluasa memeluk lengannya.

Petir masih saja mengagetkan Shella. Membuat mata yang sempat terpejam itu terbuka kembali. Memperlihatkan bahwa air matanya masih saja menitik.

"Sejak kapan takut petir?"

Shella melirik Davin sekilas. Lalu kembali menatap lengan keras yang menempel di pipinya itu.

"Gue nggak takut petir."

"Trus?"

"Gue cuma..." Shella tersenyum lemah, "takut lo pergi."

Terdiam, mata Davin spontan beralih menatap apa pun asal bukan Shella. Ketika petir masih terus berlangsung, dia lihat Shella mencoba memicing rapat matanya, mendekat ke lengan Davin lebih erat. Hangatnya air mata yang menyentuh lengan Davin membuat cowok itu mendesah sinis. Inikah sikap normal ketika mendengar petir? Shella jelas-jelas takut pada bunyi keras yang berasal dari langit itu.

Tapi, Davin masih ragu; apakah tangis Shella murni karena ketakutannya pada petir, atau malah karena rasa sakit yang masih terasa sejak pernyataan yang dia dengar dari Davin beberapa jam yang lalu?

Apa pun itu, untuk sekarang, Davin hanya berniat untuk menemani Shella. Tidak untuk yang lain.

Davin sandarkan kepalanya ke papan kasur. Mencoba memejam mata.

"Terlalu cepat buat lo untuk jatuh cinta, Davin." Suara maskulin seseorang tiba-tiba Davin dengar begitu jelas dari dalam kepalanya sendiri. Bukan suara Shella, bukan pula suara seseorang yang mungkin saja menyelinap dalam kamarnya. Itu jelas berasal dari dalam kepalanya, yang membuatnya tetap berlagak tenang dan tetap memejam matanya. Seolah terbiasa.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now