tiga belas

1.9K 75 0
                                    

Urusan rumah selesai. Koper gede sudah Shella bongkar. Barang-barang penting seperti boneka dan buku-buku sudah dia tata. Sekarang hanya tinggal perabotan milik Davin. Shella tak habis pikir bisa-bisanya cowok itu tak membutuhkan satu pun barang di rumahnya yang satu ini. Padahal, perabotannya bukan main harganya.

Lihatlah sofa dan lemari kaca itu. Lantaran Shella sempat bertahun-tahun hidup bersama orang yang amat mengenali kualitas brand, dia jadi tahu bahwa harga yang dimiliki barang-barang di rumah ini jauh lebih mahal ketimbang rumah itu sendiri.

Tapi, anehnya, cowok yang tengah mematut isi kamarnya itu, sama sekali tak punya hasrat untuk membawa segala perabotannya ke rumahnya yang dominan.

"Rumah lo sebenernya berapa, sih?" tanya Shella sembari menyandarkan lengannya ke kusen pintu kamar.

Davin berjalan pelan menuju meja belajar dan rak buku yang sudah diisi penuh oleh buku-buku milik Shella. "Lo ke manain buku gue?"

Okesip. Pertanyaannya diabaikan.

"Di kardus, gue pindahin. Gue susun rapi-rapi kok. Tenang aja."

"Lengkap, 'kan?"

Karena pertanyaan dan wajah Davin terlihat amat serius, Shella menyamarkan kernyitan di keningnya dengan mengangguk. Dilihatnya wajah lega Davin. Dia lihat juga senyum tipis sekilas itu.

"Jadi, sebenarnya, rumah lo berapa?"

"Nggak penting."

"Di surat-surat, yang tertanda-tangan tuh bukan nama lo. Tapi bokap lo. Barang-barang lo juga banyak yang antik. Berarti ini rumah, rumah lo dari kecil, 'kan?"

Davin berhenti berjalan dan duduk di tepian kasur. Dia menatap gadis yang masih saja mengenakan sweater-nya tanpa izin.

"Mungkin."

"Mungkin?"

Davin menggaruk sebelah alisnya dengan telunjuk. "Well." Dia mengangkat bahunya sekilas. "Lebih tepatnya gue lupa."

Kening Shella berlipat. "What? Lo lupa kalo ini rumah lo?"

"Bukan. Gue nggak ingat sama sekali kalo gue waktu kecil pernah tinggal di sini."

Shella mendesah sinis. Dia ingin terbahak-bahak namun urung. Ekspresi datar Davin tak menggambarkan lelucon apa pun, membuatnya terpaksa menelan pernyataan itu bulat-bulat.

"Jadi, lo nggak ingat siapa ortu lo?"

Hati Shella sedikit terenyuh melihat ekspresi bingung Davin.

"Lo bilang ortu lo kerja di Itali!" seru Shella yang entah kenapa mendadak emosional.

"Yeah ... itu ...." Davin menyeringai. "Kenapa gue tiba-tiba diinterogasi sama lo?"

"Davin!" timpal Shella sambil mengentak sebelah kakinya ke lantai. "Gue serius!"

Davin lagi-lagi mengangkat bahunya. Sorot kosongnya serasi dengan senyum hambar yang mencolok. "Setau gue mereka emang kerja di Itali. Dan itu sekitar enam tahun yang lalu. Entah kalo sekarang."

Shella semakin tak paham. Bak kingkong, dia berjalan menuju Davin, lalu menghempas kasar bokongnya tepat di samping cowok itu.

Tatapannya berubah sangar.

"Lo liat nggak muka gue gimana? Ekspresi gue sekarang kayak apa?"

Davin menyorot datar saat menjawab, "Nggak liat. Gelap."

"Gue nggak lagi becanda, Davin!"

"Hm. Terus?"

"Lo serius nggak ingat siapa bokap-nyokap lo? Dari mana dan gimana sejarahnya lo bisa tinggal di sini?"

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now