dua puluh dua

1.6K 70 0
                                    

BMW 6 series putih memarkir mulus di depan rumah Erwin. Tak ada lagi mobil yang sebelumnya nganggur di garasi. Rumah itu juga gelap. Membuat orang-orang yang baru saja keluar dari mobil yang baru saja berhenti dan melihat suasana rumah itu menjadi amat gelisah.

Terutama wanita yang masih mengenakan gaun terusan itu.

"Kamu yakin mereka ke sini?" Tanya Rachel pada Albert yang sama paniknya. Dia lihat cowok itu mengangguk mantap.

"Yang jelas kita ke dalam dulu." Darren mempercepat langkahnya menuju pintu rumah. Mencoba membuka pintu. Terkunci. Dan itu dari dalam.

Salah satu anak asuhnya amat lihai melakukan itu; pembunuhan ruang tertutup.

Darren menghela napas. Memandang Rachel dan Albert. "Ada yang tau cara membuka pintu tanpa bikin suara gaduh apa pun?"

Rachel mendekati pintu itu. "Minggir," Ucapnya membuat Darren memberinya ruang. Wanita itu menyingsing gaunnya yang panjang hingga ke paha. Membuat Albert mengalihkan pandangannya. Sementara, sang direktur hanya diam. Menunggu apa yang akan Rachel lakukan selanjutnya.

Sebilah belati menempel di pahanya, dililit oleh perban tipis. Rachel ambil belati itu, membuka sarungnya. Berkata, "Aku lebih suka nyembunyiin ini ketimbang revolver."

Rachel masukkan ujung belati ke lubang gagang pintu, mengotak-atiknya sedikit. Lalu dia dorong kebawah gagang itu, membuat pintu yang terkunci dari dalam itu terbuka.

Rachel ingin berteriak puas atas keberhasilannya, tapi rasanya itu tak bijak dilaksanakan sekarang. Dia biarkan Darren masuk lebih dulu. Lantaran gelap, Rachel menyalakan senter ponsel. Ruangan seketika terang begitu Albert menyalakan sakelar.

Mereka lihat sosok bergelimang darah di dekat sofa.

Rachel mengalihkan pandangan. Menatap Albert yang terkejut. Rachel elus lehernya sendiri. Tak bisa membayangkan jika yang di posisi sosok itu adalah dirinya.

"Itu yang namanya Erwin?" Tanya Rachel.

Albert menelan ludah. Mengangguk. "Gue baru tau Davin sehoror ini."

"Bukan Davin," Timpal Darren berjongkok di dekat mayat Erwin. "Tapi Keith."

"Yaa, maksud gue itu Sir."

"Aku coba cari Shella ke atas!" Seru Rachel sembari berlari. Namun langkahnya terhenti oleh berdirinya Darren yang sekaligus memanggil namanya.

"Nggak perlu. Dia nggak ada di sini."

Bahu Rachel merosot. "Berarti kita telat?"

Darren menghela napas. Memijit sejenak pangkal hidungnya yang masih bebas dari kacamata. Berjalan menghampiri dua bawahannya.

"Kalian tau apa yang aneh di sini?" Tanyanya menatap datar Rachel dan Albert.

Albert diam. Sedangkan Rachel menjawab, "Keith?"

Darren mengangguk pelan. "Ini pertama kalinya dia ninggalin jejak," Katanya seraya menunjuk Erwin. "Cara dia nusuk leher laki-laki itu dari belakang, bukannya itu nunjukin kalau laki-laki itu dibunuh?"

Rachel manggut-manggut. "Bener. Dia harusnya bikin korban seolah-olah bunuh diri."

"Hm. Satu lagi, dia pakai pisau rumah ini. Aku yakin sidik jarinya juga tertempel di sana."

Albert menghela napas. "Sejak kapan dia ceroboh gini?"

"Nice question. Sejak kapan dia ceroboh? Cuma ada satu jawaban valid; ada yang mengalihkan perhatiannya."

"Ngalihin perhatian dia?" Rachel berusaha menebak. "Kucing?"

"Ya. Kucing. Dan kucing itu Shella."

Jawaban Darren seketika membuat Rachel dan Albert tampak lemas.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now