empat belas

1.9K 73 2
                                    

Shella mempersilakan Rachel masuk ke kamarnya. Dia nyalakan sakelar lampu. Ruangan yang lumayan luas untuk sebuah kamar itu serta-merta terang-benderang.

"Ntar kalo tidur lampunya dimatiin aja ya, Sweetie. Aku nggak bisa tidur kalo terang kek gini," pinta Rachel seraya berjalan ke kasur, kemudian merebahkan diri.

Shella mengangguk manut. Dia hampiri pintu kaca balkon dan menyingkap gorden. Dilihatnya hujan yang ternyata masih mengguyur deras. Dia tutup rapat gorden itu kembali. Kemudian berbalik berjalan ke arah Rachel. "Kakak langsung tidur atau gimana?"

"Belum nih."

"Gimana kalo aku buatin coklat panas?"

"Boleh juga tuh."

Shella mengembangkan senyumnya sampai keluar kamar. Rachel bangkit dari rebahan, menatap sekeliling. Aroma parfum pria masih kuat menyeruak. Di sana dia sadar bahwa kamar ini adalah kamar yang pernah seorang cowok tempati.

Rachel berjalan-jalan, mengamati benda demi benda. Mulai dari komputer terbaru yang sedikit berdebu. Mengamati lemari pakaian kemudian bercermin. Lalu mengamati meja belajar dan menyentuh tatanan buku milik Shella.

Tak sengaja matanya menangkap sebuah buku tergeletak di bawah meja, terjepit oleh kursi yang diserudukkan. Rachel geser kursi itu, membungkuk mengambil buku. Kemudian duduk di kursi. Dia geser rambutnya ke belakang kuping. Keningnya berkerut melihat tulisan di buku tulis yang lebih besar daripada buku tulis pada umumnya.

Our Journal.

Rachel intip isi dalam buku itu, lalu menutup kembali buku itu dibarengi wajah kaget. Dia berseru dalam hati; ini bukan punya Shella! Ini punya Davin!

Kepalanya mulai celingak-celinguk, mencari tempat yang aman untuk menyembunyikan buku itu. Lalu tersenyum tipis begitu matanya menangkap deretan buku di rak. Dia bergumam, "Di sini aja ya dulu. Tenang. Besok kamu aku bawa pulang."

**

Shella tersenyum mendengar sederetan cerita yang mengalir mulus dari mulut Rachel. Dia sudah tak terkejut lagi akan sifat agak cerewet wanita yang sempat membuatnya terperangah kagum itu. Sebenarnya Shella merasa dirinya mirip Rachel; agak berisik. Tapi karena Shella agak segan dengan yang lebih tua, dia lebih memilih menjadi pendengar saja.

Meski bercerita panjang-lebar, yang diceritakan Rachel hanya tentang klien-kliennya. Shella belum mendengar siapa nama lengkap Rachel, apa pekerjaan lainnya dan bagaimana hubungannya dengan Davin dan Leon. Shella juga penasaran dengan status wanita itu. Apa dia sudah menikah? Kalau belum, apa dia punya pacar? Kalau punya, siapa orang beruntung yang telah berhasil mendapatkan hatinya?

"Aku pen nanya." Shella akhirnya buka suara.

Rachel meneguk coklat panas sembari menjulurkan tangan, seolah berkata dengan isyarat 'silakan'.

"Kak Rachel kenal Davin dari mana?"

Rachel senyum. Dia letakkan mug coklatnya di meja komputer. Dia yang duduk di kursi putar itu mengangkat kedua kakinya, duduk bersila. Dia ikat rambut oren pekat yang sebelumnya berwarna maroon itu. Saat ditanya, dia mengaku bahwa warna oren bata adalah warna asli rambutnya.

"Kenapa nggak tanya Leon? Atau Albert? Kenapa langsung Davin? Jawabannya, jelas karna yang paling banyak nyita perhatian kamu itu Davin. Kamu suka Davin, dan penasaran kenapa aku bisa kenal Davin. Ya, 'kan?"

Shella yang berkelumun selimut di kasurnya itu hanya tertawa renyah.

"Aku kenal Davin karna kita satu divisi sih."

"Divisi?" bingung Shella. "Davin polisi?"

"Istilah divisi bukan cuma di polisi. Lebih tepatnya kayak, kalo diibaratkan kantor, dia tuh karyawan, dan aku manajer."

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now