tiga puluh tiga

1.5K 58 0
                                    

"Gue butuh kesabaran lebih supaya tau siapa Davin sebenernya. Dulu tuh Davin bukan cowok yang bisa dengan gampangnya lo ajak bicara, asal lo tau. Pusing mau gimana lagi, gue ada ide; ngagetin dia pake kucing. Dia marah emang, langsung menjauh. Tapi, menariknya, dia langsung ambruk gitu. Tau-tau pas bangun, dia tiba-tiba seneng gue kasih kucing. Dari situ gue tau kalo Davin punya kepribadian lain. Dan Keith yang gue pikir kepribadian inti ternyata cuma alter ego-nya Davin."

Shella mengangguk. "Itu kucing, pasti namanya Lucas. Ya kan?"

Leon senyum. "Ya. Yang mati itu, Lucas kan?"

Shella mengangguk lagi. "Trus, orang tua lo, gimana?"

Senyum Leon seketika lenyap. Dengan gerakan lembut guratnya berganti datar. Pandangannya beralih, tak sengaja terhenti pada spion dalam mobil. Dia lihat lirikan sinis Albert yang sempat menatap matanya dari sana. Leon bersandar. Menatap ke luar kaca jendela di sampingnya.

Berkata pelan, "Lo tau kan, lawan beratnya Sherlock Holmes?"

"Hm." Shella mengernyit. "William James Moriarty, bukan?"

"Lo tau dia siapa?"

"Dosen. Penulis. Bangsawan."

"Lagi?"

"Konsultan.. kejahatan?"

Leon mengangguk. Menoleh menatap Shella. Tersenyum. "Keith sempat jadi konsultan gue, dulu. Kalo lo penasaran gimana ceritanya, lo bisa tanya Keith. Atau tanya ke orang yang bener-bener ngikutin jejak Moriarty; bos besar kita."

Shella menghempas napas. Tertawa sinis. "I'm sorry?" Shella menerawang. Tak habis pikir. "Maksud lo, ada Moriarty versi nyata gitu, di jaman sekarang? Dan itu.. bos-nya kalian?"

"Ya. Dan lo kenal siapa orangnya."

Shella benar-benar bingung sekarang. Mengernyit. "Siapa?"

"Pemegang hak waris lo. Direktur utama departemen elit di negara kita."

Mata Shella mengerjap. Terbelalak. "Hah?"

"Sir Darren Nakagawa. Si jomblo yang selama ini kita anggap sebagai ayah." Leon menyeringai. "Mungkin sekarang dia lagi ngintrogasi Davin. Lo harusnya tau; yang paling cemas lo diculik sama Keith itu bukan kita. Tapi dia; mantan ajudan setia nyokap lo dulu."

**

Davin meletakkan ponselnya di atas meja. Bermenung sejenak. Dia lihat deru angin menggaduh tirai jendela yang terbuka. Daun maple berjatuhan. Dingin, membuatnya menggenggam jemari pucatnya sendiri.

Usai menghela napas, dia memutuskan beranjak. Meraih mantel dari gantungan, mengenakannya. Dia pasang sepatu ketsnya. Keluar dari rumah tempat Shella pernah bersembunyi. Dia nyalakan mesin motor trail-nya. Memasang helm, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.

Sampai di tujuan, dia parkirkan motornya di basement gedung mal. Lalu berjalan tenang menuju sebuah ruangan ber-tag 'staff only', memasukinya. Ruangan luas itu hanya berisikan kardus-kardus sebagai kamuflase. Di balik balok besar entah berisikan apa, terdapat sebuah pintu lagi. Davin perlu seleksi sidik jari untuk bisa masuk. Pintu lalu itu terbuka, menyuguhkan ruangan kubus kecil yang disebut elevator.

Davin dibawa turun ke ruang bawah tanah. Dia keluar begitu pintu terbuka. Lorong putih gading dirasanya amat dingin. Pintu-pintu raksasa berlapis baja dia lewati. Dia berbelok, kemudian berhenti di salah satu pintu. Berdiri dan menghela napas. Kemudian dihadapkannya wajahnya ke interkom. Dua daun pintu itu berdesis, terbuka. Mempersilakan Davin untuk masuk.

Berdiri seseorang berkemeja putih lengkap dengan dasi di dekat meja kerjanya. Ruangan luas berisikan permadani dan sofa mewah serta rak besar berjejerkan buku itu selalu Davin masuki dengan penuh hormat. Kesan klasik bak perpustakaan abad 19-an yang mungkin membuat seorang pria berwajah Asia itu memilih tempat ini sebagai tempat pribadinya di gedung bawah tanah ini.

Shella in the Davin's WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang