41

1.3K 42 0
                                    

Sejak pagi mendung. Angin berembus menjatuhkan daun pohon di luar. Dingin. Shella mengencangkan ritsleting mantelnya. Lalu mengemasi buku.

Bel istirahat berbunyi. Shella lirik Recky yang pergi bersama teman-temannya, keluar kelas. Lalu dia lihat Albert. Bertanya, "Kantin nggak?"

Albert setuju. Mereka lantas keluar kelas bersama. Seakan terbiasa, Albert tak mengacuhkan tatapan orang-orang yang semakin tajam lantaran pagi tadi dirinya sempat ketahuan keluar bersama Shella dan Leon dari mobil yang sama. Ya, itu semua karena dia dan Leon tidur di rumah Shella. Begitu juga Darren. Mereka Shella larang pulang lantaran hujan dan malam yang terlalu larut.

Sekarang, mereka duduk di meja tersudut. Sama-sama memesan semangkuk bakso dan sebotol air. Dari tempat Shella duduk, dia bisa melihat Recky meski dari kejauhan. Sedangkan Albert perlu membalikkan badan kalau ingin melihat cowok yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu.

"Al," panggil Shella seraya memasukkan saus dan kecap ke dalam mangkuknya.

"Ha?"

"Kalo kita ngebunuh orang, sidik jari pasti tertempel di tubuh korban kan?"

"Nggak kalo lo pake sarung tangan."

"Nah. Kalo ngelakuin itu, sidik jari pasti ada kan? Nggak mungkin lagi gitu dia pake sarung tangan."

"Ngelakuin itu? Lagi gitu?" Wajah Albert diliputi kebingungan.

Sementara Shella, wajahnya merah padam. "Jangan bilang lo nggak paham."

Albert mengunyah baksonya santai. "Emang nggak paham. Silakan perjelas."

Shella menghela napas. Berbisik, "Seks, maksudnya."

Yang Shella pikir akan terkejut atau minimalnya kikuk malah mengangguk paham. Bahkan menyeruput kuah baksonya dengan sendok tanpa sempat untuk tercenung walau sejenak.

Mata Shella melebar. Sesantai itu!?

"Untuk penyelidikan, apalagi di antara kita, nggak perlu ada sensor-sensor. Terus terang aja. Lagian lo segan-segan gitu emangnya belum ngelakuin ya sama Davin?"

Tinju spontan melayang. Albert mengusap ubun-ubunnya yang malang.

"Sakit Shel. Becanda kali," keluh Albert.

"Becanda tau tempat! Gue bisa bikin mata lo bolong kalo ngoceh nggak perlu."

Melihat Shella mendengus dengan wajah merah seperti itu membuat Albert tersenyum. Dia gigit lagi baksonya. Berkata sambil mengunyah, "Harusnya ada, sidik jari pelaku di tubuh korban. Dan pastinya ada. Tim autopsi bukannya nggak bisa nemuin. Mereka bisa, tapi belum. Tapi susah karna pelaku entah gimana licin banget sampe-sampe nihil ninggalin petunjuk." Sudut bibir Albert terangkat. "Kayak Keith."

Shella sempat termangu sebelum akhirnya kembali melahap baksonya. Sekilas tampak sedang menghindari kesedihan ketika memperagakan pedas dengan gerak berlebihan.

"Tetep aja, gue nggak percaya Recky pelakunya," ujar Shella usai meneguk air di botolnya. "Kalo pun iya, dia pasti punya alasan."

"Alasan kayak apa yang dijadiin dasar buat ngebunuh orang nggak bersalah?" Albert mendesah sinis. "Lagian, untuk tau kebenaran, lo perlu kesampingkan emosi Shel. Sikap nggak tega atau nggak mau nerima kenyataan bakal ngehambat jalan terang."

Terdiam, Shella mengangguk patuh. Menghela napas. Dia lihat Recky sembari memasukkan satu bakso ke mulutnya. Cowok itu, yang tengah bersenda-gurau bersama teman-teman sesama klub basketnya itu, Shella tatap dengan mata sendu. Akan Shella pastikan cowok itu tak bersalah. Akan Shella kuak kebenarannya. Meski sedikit tertatih karena dia sekalipun belum berpengalaman, meski di akhir mungkin sedikit pedih, dia akan berusaha.

Shella in the Davin's WorldNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ