39

1.4K 44 0
                                    

"Bertindaklah dari sekarang, sebelum dia merenggut lebih banyak nyawa lagi."

"Saya tau kamu bukan tipe orang yang seperti itu."

"Makanya, kamu berpikir lebih baik mati ketimbang melihat Erwin bebas karna kekuasaannya."

Shella mengacak rambutnya frustasi. Kalimat Darren sampai saat ini masih terngiang di kepalanya. Dirinya yang jalan-jalan tak jelas usai pulang dari restoran tempat Darren mengajaknya makan itu masih berjalan hingga malam begini. Dia tolak tegas keinginan Darren untuk mengantarnya pulang dengan alasan masih ingin jalan-jalan. Darren tak tahu alasannya jalan-jalan ialah untuk memikirkan bagaimana caranya dia tahu alasan kenapa dan kemana Davin sebenarnya pergi.

Dan untuk tahu jawabannya, dia harus menyelesaikan sebuah kasus.

Gila, bukan?

Shella yang selama ini hanya membaca dan menonton itu mana pernah menguak kasus. Dia emang sering terjebak dalam situasi horor yang membahayakan nyawanya. Tapi ya tetap saja, otaknya terlalu lemot untuk disuruh berpikir.

Polisi saja lamban menemukan penjahat itu. Apalagi Shella!

Dipikir-pikir lagi, kayaknya Darren emang sakit. Kenapa sih dia harus dikelilingi orang-orang kurang waras!?

"Shella?"

Shella mengalihkan tatapannya dari pijakan ke sosok di depannya. Sosok jangkung dengan hoodie panjang bertudung. Dia mengenakan topi putih. Matanya samar dilihat karena cahaya lampu tiang terhalang ujung topinya.

"Recky?" Shella menoleh sekeliling. Lalu kembali mendongak. "Ngapain lo di sini?"

"Justru harusnya gue yang nanya gitu." Recky tertawa. "Lo tiba-tiba cabut sekolah dan malah nyasar ke sini. Gimana gue nggak bingung? Trus seragam lo mana? Kok tiba-tiba pake jas hitam?"

"Ah." Shella kikuk, bingung hendak jawab apa. "Salah satu keluarga gue ada yang meninggal, makanya gue cabut. Ehe."

"Oh, jadi pergi melayat ya tadi?"

Shella mengangguk.

Recky tampak merasa bersalah. "Sori."

"Ng-nggak, nggak papa. Lo mau kemana?"

"Sebenarnya mau pulang sih, naik kereta di sana," jawab Recky sembari menunjuk ke belakang Shella.

"Ooh yaudah. Gue pulang dulu."

"Gue temenin mau?"

"Bukannya lo mau pulang?"

"Yaa, nggak baik cewek jalan sendirian. Lo tau kan sekarang lagi eksisnya pembunuhan? Ntar lo malah jadi korban ke tujuh, lagi."

"Ooh, oke."

Sebenarnya Recky itu cowok yang baik. Di kelas, selalu bisa Shella andalkan. Banyak gadis yang mengincar dirinya, namun selalu saja menolak dengan alasan ingin tetap menunggu Shella. Alasan Shella menolak cowok itu sebenarnya tidak ada. Hanya saja, Shella, sejak dari dulu tak ingin menerima perasaan orang yang mengejarnya.

Dia ingin jatuh cinta pada orang yang dari awal tak tertarik padanya.

Ya, seperti Davin.

Dia terlalu buta hingga mengabaikan semua perasaan yang dia terima hanya untuk seseorang yang entah benar mencintainya entah tidak.

"Btw, tas gue ceritanya gimana ya? Kan gue tinggalin gitu aja tadi."

Recky yang berjalan di sampingnya tersenyum. "Ada sama Albert. Kalian pacaran kan?"

Shella spontan menggeleng. Mengibaskan tangan. "Ya kali. Bukan ih. Temen biasa."

"Sama Davin?"

Melihat Shella bungkam, Recky langsung terkekeh. Dia berhenti berjalan, membuat Shella ikut berhenti. Dilepasnya hoodie gelapnya, menyisakan kemeja tebal. Recky letakkan hoodie ukuran jumbonya itu ke pundak Shella.

Shella in the Davin's WorldWo Geschichten leben. Entdecke jetzt