tiga puluh dua

1.6K 54 0
                                    

Deru badai begitu gencar menampar dinding kaca. Menciptakan gemuruh yang sedikit berisik. Petir memang tak berdentum lagi. Hanya saja, ketakutan Shella waktu itu berpaling. Davin menatapnya penuh tanda-tanya.

Waktu itu, Shella yang spontanitas mengatakan bahwa pertanyaan Davin dapat terjawab dengan terbunuhnya dirinya, membuat Davin melepaskan diri dari Shella. Mundur satu langkah. Sebelah tangannya berkacak pinggang, sebelahnya lagi meremas rambut. Menusuk mata Shella dengan sorot tajamnya.

"Lo beneran mau gue ngelakuin itu?"

Shella menyeka pipinya dengan punggung tangan. Terisak. "Lo pikir gue main-main?"

"Buat orang lain, itu tawaran. Buat gue, itu tantangan. Tapi," Davin mendekat lagi. Menghadap Shella dengan jarak yang tak bisa disebut jarak lagi. "Lo pikir mayat bisa ngomong hm, buat ngejawab pertanyaan tadi?"

Shella menengadah. Rautnya tampak benar-benar heran. "Kenapa lo belum paham juga Davin!? Gue justru nyuruh elo kayak gitu karna gue tau lo nggak bakalan mau!"

Kening Davin berlipat. Tak mengerti. Terlebih ketika Shella mendorong dadanya untuk menciptakan ruang bagi mereka agar bisa leluasa untuk saling beragumen.

"Gue tau lo sebisa mungkin nggak bakalan nyakitin gue secara fisik. Gue tau lo bohong soal tadi. Gue tau lo menjauh dari gue itu karna nggak kepingin gue terluka karna sisi lo yang lain. Sampe sini lo belum juga paham? Sekejam apa pun elo, seburuk apa pun masa lalu dan masa sekarang yang lo jalanin, gue sendiri nggak bisa ngelak kalo perasaan gue sama sekali nggak berubah Dav! Bahkan waktu gue tau lo aneh, penyakitan, brengsek, jahat, gue dengan begonya masih pengen tetep bareng elo. Gue musti sebodoh apa lagi buat ngasih tau yang sebenernya?"

Hening. Davin tercengang. Dan Shella masih dengan kekalutannya.

"Satu-satunya yang bikin gue bisa sebego itu cuma karna lo tuh beda. Lo nggak bakalan pernah mau nyakitin gue, merkosa gue, itu karna lo tulus sayang ke gue kan Davin?" Shella memelas. Matanya menyorot lemah. "Gue kurang jawaban apa lagi? Kurang alasan apa lagi? Gue nggak bakal nyerah karna sejahat apa pun elo, gue tau. Di saat bersamaan, lo juga usaha buat ngelindungin gue. Iya kan?"

Davin menelan ludahnya. Menatap arah lain. Lalu menatap ke bawah. Mengernyit.

Melihat gadis itu berjalan pelan ke arahnya, Davin benar-benar terpaku. Tak berkutik ketika Shella meraih sebelah tangannya. Menggenggamnya.

"Lo, di saat yang sama.. adalah luka buat gue. Sekaligus obat." Mata Shella mengerjap. Seolah mengusir kunang-kunang. "Jadi, plis.." Gadis itu terhuyung, jatuh di pelukan Davin. Sempat bergumam sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

"Biarin gue buat ngertiin siapa lo sebenernya."

**

"Jadi, kenapa lo bisa ada di kamar?"

Terdiam, Shella tampak susah menelan roti yang dikunyahnya. Diteguknya air di botol, lalu bersandar. Mencoba tersenyum sembari membereskan minum dan makanannya.

Mengenang soal tadi malam.

"Davin sempat ngelabrak gue karna gue kepergok ngeliat dia bikin itu orang mati. Kita sempet bertengkar sih. Trus, entah kenapa, gue tiba-tiba pingsan. Mungkin Davin yang bawa gue ke kamar. Tapi kenapa pintunya bisa terkunci dari dalam?"

Leon senyum. "Itu gampang buat kita. Apalagi Davin."

Shella mengangguk paham. Air yang bermuara di matanya tak bisa lagi dia kendalikan. Tepat di saat dia mencoba tegar menatap Leon, air matanya dengan mulus meluncur. Membuatnya sedikit tercekat ketika berkata, "Gue mau tanya."

Albert melirik gadis itu melalui spion. Sedangkan Leon membalas tatapan Shella dengan wajah tenang, mempersilakan penuh hormat.

"Lo, Albert, Kak Rachel, Davin..." Shella mengernyit. "Kalian.. pembunuh?"

Shella pikir Leon bakal terdiam, merasa bersalah atau apa pun yang berhubungan dengan rasa malu karena telah berprofesi sebagai salah satu anggota kejahatan kelas elit. Tapi yang dia lihat, Leon malah tersenyum—senyum riang yang anehnya malah terkesan dingin. Mengangguk mantap. Tanpa ragu menjawab bahwa apa yang Shella duga adalah kebenaran absolut.

"Kita punya organisasi, dan kita kerjanya emang ngebunuh orang. Tapi kita punya target khusus Shel. Dan lo, target Keith yang nggak diundang."

Shella tersenyum pahit. "Bahkan Kak Rachel? Dan elo, Albert?" Shella mendesah sinis. "Target khusus? Alasan pembenaran macam apa yang bikin kalian segitu pede ngerenggut nyawa orang?"

"Habisi penindas. Lindungi orang lemah," Leon menjawab tenang. Tetap tersenyum. "Karna prinsip itu lo bisa bebas dari ortu yang udah menjarain elo selama ini."

Shella terdiam. Masih tak habis pikir. Dihempasnya kepala ke sandaran sembari mengusap wajah. Menghela napas panjang.

Bagaimanapun juga, dirinya bisa bebas dari belenggu ortu angkatnya ya karena mereka. Membuat Shella suka tak suka memang harus berterimakasih untuk itu. Tapi, tetap saja...

"Lo mau denger cerita first met gue dengan Davin nggak?"

Shella lirik Leon sekilas. Mengangguk seadanya.

Mobil yang dia tumpangi sudah melaju di jalan formal. Penuh oleh merah dan coklat daun yang berguguran.

"Beda sama lo, gue bukan orang kaya. Bokap gue pengangguran, pemabuk pula. Nyokap ada kerjaan sih, nari nggak jelas di diskotik—gue nggak tau apa nama profesinya. Waktu itu sih, waktu lulus SMP, mereka maksa gue buat berhenti ngelanjutin sekolah. Maksa gue buat jadi pengamen," Leon menyeringai. "Padahal gue sama sekali nggak bisa nyanyi. Gue punya cita-cita buat sekolah di sekolah kita sekarang. Sekolah impian, diisi sama orang-orang tajir. Karna gue nggak pinter-pinter amat, gue perlu uang lebih buat bisa masuk. Padahal yaa, you know-lah, gue miskin. Gue bisa apa coba dapetin duit segitu banyak?"

Walaupun Shella tampak bermenung menatap lurus ke depan, Leon tahu gadis itu tengah mendengar ceritanya dengan saksama.

"Di sana gue nyerah. Coba ngamen. Bukannya dapet duit, malah dapet hujatan. Satu-satunya yang ngelempar duit ke kaleng gue cuma Davin. Lucunya, waktu itu dia ngaku kalo dia itu Keith. Ngaku kalo umurnya udah 22 tahun. Padahal kita SMP mah belum setinggi sekarang. Udah gitu sifatnya aneh; suka ketawa nggak jelas. Lebay banget sama kucing. Punya mood berubah-ubah. Semenit ramah banget, semenitnya lagi diam melulu. Pokoknya—"

"Mirip elo."

Leon terdiam. Shella tengah senyum ke arahnya.

"Ya kan?"

Leon terkekeh. "Iya. Gue yang ketularan. Tapi soal kucing gue b aja sih."

"Trus gimana pas lo tau Keith itu alter?" Shella tak lagi muram. Wajahnya sedikit lebih cerah.

"Nah iya. Gue bisa ngelanjutin sekolah karna Keith turun-tangan buat ngebiayain semuanya. Semuanya, lengkap sama buku tulis. Pas gue mulai sekolah, ternyata gue sekelas sama Keith. Gue kaget. Secara yang gue tau Keith itu kan udah tamat sekolah. Udah punya kerjaan mapan gitu makanya bisa sedekah segitu banyak ke gue. Gue lebih kaget lagi pas dia gue panggil Keith, dia nggak nyaut. Tapi pas giliran guru yang manggil dia pake nama Keith, dia nyaut. Ternyata Keith itu nama keluarga. Dan yang bikin gue nggak abis pikir itu, kenapa dia tiba-tiba kayak nggak kenal gue sama sekali?"

Shella ikut terkekeh ketika Leon tertawa lepas. Meski hawa dingin yang aneh tetap saja berkeliaran di antara mereka, Shella tetap berusaha bertahan untuk tetap tenang. Dia perlu kemampuan untuk terbiasa santai bercengkrama dengan seorang pembunuh.

Dia sudah terlanjur berada di antara mereka.

Karenanya, dia terpaksa harus menganggap mereka seperti orang normal biasa.

Salah satu dari mereka, ada seseorang yang begitu ingin Shella berada di sisinya. Shella harus mampu mengerti mereka lebih dalam lagi kalau memang benar ingin keinginannya itu terwujud.

Sukar tak sukar, mereka pasti punya alasan, meski sebagian besar pastilah hanya pembenaran.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now