dua puluh enam

1.7K 72 1
                                    

Lampu tidur berwarna biru menjadi sebab kenapa Shella bisa melihat jam dinding di sisi kiri, sekaligus melihat betapa nyenyaknya cowok di sampingnya itu tertidur. Shella posisikan dirinya menghadap langit-langit. Dirinya memang sempat terlelap sejenak. Namun, ketidak-tenangannya, membuatnya tersentak lebih cepat.

Ternyata masih pukul sebelas. Cepat sekali dia disuruh tidur. Cowok itu juga tampak tak ada tanda-tanda akan bangun lagi. Inikah kesempatan Shella?

Shella elus kucing yang tetap dan masih meringkuk tertidur itu. Bulunya yang lembut dan lebat sedikit membuat ujung bibirnya terangkat. Membuatnya sedikit lebih tenang.

Davin alergi kucing. Dan alter-nya seorang pecinta kucing. Benar-benar kepribadian yang bertolak-belakang.

Cepat-cepat Shella kesampingkan hal itu. Dia ulurkan tangannya, mengibasnya di depan wajah Davin, atau Keith—terserah. Kalau saja dia di dalam situasi normal, pasti, pasti akan dia nikmati wajah polos terlelap itu. Betapa menggemasnya bibir itu. Betapa ingin Shella sekali saja mengelus rambutnya yang halus itu. Betapa semua keinginan itu tak mungkin bisa dia wujudkan bila orang yang membersamainya saat ini bukanlah orang itu!

Shella duduk dari rebahan. Dia sentuh dadanya, lalu menghela napas. Dia lepas bando yang ternyata masih melekat di kepalanya, lalu meletakkannya ke bantal. Dia tatap lagi wajah pulas itu sebelum diam-diam menyibak selimut, turun dari kasur. Segera dia berjalan cepat ke arah pintu, keluar, menutup pintu itu sebisa mungkin tanpa suara. Kemudian berlari menuruni tangga yang remang.

Tidak, tujuannya bukan kamar mandi. Bukan pula mencari camilan di dapur. Dia hanya ingin jalan keluar. Dia mungkin baik-baik saja hingga esok. Tapi siapa yang bisa menebak isi kepala seorang penyakitan?

Dia tahu ini tak bijak; mengklaim Davin seorang penyakitan. Shella terluka hanya karena memikirkan itu. Tapi, haruskah dia menunggu peri datang menolongnya keluar dari kastel antah-berantah ini, tanpa melakukan apa pun?

Ruang tamu remang. Tak ada waktu untuk menyibak gorden raksasa itu guna melihat seperti apa keadaan di luar. Dia juga tahu bahwa pintu kaca itu tak mungkin tak dilengkapi keamanan. Hanya satu yang mungkin bisa dihancurkan; jendela gudang.

Cepat-cepat Shella ke arah dapur, sesekali melihat ke belakang. Jantungnya sudah bertalu sekarang. Dia serasa sedang syuting film horor. Bedanya, yang dia alami itu sialnya nyata.

Pintu lorong gudang tak terkunci. Shella berjalan di lorong singkat itu. Gelap. Senyap. Saking senyapnya, dia bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Shella buka pintu gudang. Kemudian masuk, menguncinya. Dia intip celah papan yang menutupi jendela, mendesah lega melihat ada cahaya di ujung sana. Mungkin saja itu sebuah rumah yang dekat dengan kota, atau apa pun yang setidaknya Shella bisa lari ke sana.

Karena, Shella yakin, dia disembunyikan di tempat yang jauh dari orang-orang.

Shella teringat akan ponselnya. Sial. Tak ada jalan lain selain merelakan benda itu. Dia raba papan di depannya. Ada gembok yang mengunci jendela itu. Membuktikan bahwa jendela ini merupakan jendela kaca yang bolong kemudian ditambal dengan papan-papan kecil yang bertumpuk.

Shella mencari benda yang bisa menghancurkan gembok itu. Dia usai barang rongsokan di gudang itu. Mengabaikan bunyi gaduh. Begitu menemukan sebuah palu yang dirasanya sudah berkarat, Shella siapkan dirinya untuk aksi yang lebih besar; menghancurkan gembok itu, keluar melalui jendela, kemudian melarikan diri.

Baru hendak mengayunkan palu di tangannya, suara dari balik pintu membuatnya sontak terperanjat kaget.

"Catty. Lo di dalam, 'kan? Buruan keluar."

Gedoran pintu itu semakin menguji adrenalinnya. Belum lagi nada dingin itu hampir ingin membuat Shella berteriak sekarang juga.

Bagaimana bisa Keith bangun secepat itu!!?

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now