dua puluh delapan

1.7K 66 0
                                    

Salah satu hal yang bisa membuat Shella mengumpat jengkel adalah kebodohannya yang lupa bahwa dirinya tak membawa sehelai baju pun ke kamar mandi. Itu berarti dirinya harus keluar mencari pakaian dengan bermodalkan lilitan handuk. Lalu, haruskah dia mencari pakaian ke kamar Keith dengan tampilan ekstrim seperti ini?

Shella menghela napas panjang. Memanggil Keith untuk membawakannya baju adalah hal yang percuma. Ya kali Keith akan memenuhi permintaannya. Memikirkan itu membuat Shella semakin jengkel ketika memutuskan keluar dengan cara mengendap-endap dari tempat satu ke tempat yang lain.

Namun, ketika melewati ruang tamu, langkahnya terhenti begitu matanya menangkap pakaian yang terlipat rapi di lengan sofa. Shella sentuh baju itu, mengibarnya. Sebuah sweater dan celana trening. Keith kah yang meletakkan ini untuknya?

Shella menghela napas panjang. Meski ini patut disyukuri, dia tetap menyesalkan sesuatu.

Lagi-lagi dia harus berpakaian tanpa bra.

**

Shella berniat untuk memberikan Keith sesuatu sebagai penenang. Dia lihat apa saja yang ada di dapur. Melihat-lihat isi lemari gantung. Dia temui beberapa jenis teh bubuk. Shella memilih camomile. Menyeduh lalu menyaring teh itu dengan telaten. Hanya satu mug dan itu berarti hanya untuk Keith.

Selesai, pelan-pelan dia naik tangga menuju kamar. Mengetuk pintu lalu masuk. Termangu sejenak melihat Keith berdiri dan menatap suasana di luar yang sudah gelap. Bulir air masih saja memenuhi kaca. Shella berjalan menghampiri cowok itu, serta-merta menyodorkan mug teh padanya.

Keith menoleh.

"Diminum," Kata Shella lembut.

Keith membalas dengan wajah datar, "Buat siapa?"

Shella menghela napas. "Ya buat lo dong."

"Kalo buat Keith, dia nggak di sini."

Cowok itu kembali memandang kosong bulir air di balik dinding kaca. Hening. Hanya ada suara hujan, dan degup jantung yang hanya didengar oleh Shella sendiri.

Kalau sosok jangkung ini bukanlah seorang Keith, lalu, siapa?

Shella menarik kembali uluran mug teh yang sebelumnya disodorkan pada Keith. Bertanya pelan, "Kalo bukan Keith.. jadi, lo Davin?"

Cowok itu tak menjawab. Semakin menguatkan Shella bahwa dia bukan lagi sosok Keith. Tanpa sadar jemari dinginnya menyentuh bibir. Sisa hangatnya sentuhan bibir Davin tiba-tiba terasa. Terbelalak matanya saat cowok itu menoleh. Membuatnya spontan menyerahkan mug teh itu. Kalau saja cowok itu tak cepat-tanggap menerima mug paksaan Shella, mungkin mug itu sudah jatuh dan pecah. Satu hal yang Shella yakini ketika berlari keluar kamar hanyalah; cowok itu benar-benar seorang Davin.

Karena, kalau cowok itu adalah Keith, dia mungkin takkan spontan menerima mug itu dengan tangan kanan. Sebab, Keith itu kidal. Sedangkan Davin, sebaliknya.

Shella menuruni tangga dengan langkah cepat. Dia hempas bokongnya ke sofa, memeluk kedua kakinya di sana. Harusnya dia senang bisa ketemu Davin lagi. Harusnya dia memeluk cowok itu, berceloteh betapa hari-harinya sempat sulit ketika dia berhadapan dengan kepribadian Davin yang lain. Harusnya dia mengatakan sesuatu, bahwa dia teramat rindu. Meski Davin tak sesempurna ekspetasinya, meski Davin masih punya banyak rahasia yang tak diketahuinya, tetap saja; Shella masih punya perasaan yang sama.

Harusnya—yang teramat penting, Shella tak berlarian seperti ini.

Ujung mata Shella menangkap sosok yang menuruni tangga. Derap langkah kakinya membuat jantung Shella semakin kencang saja. Tak berani dia menoleh bahkan ketika Davin duduk di lengan sofa tepat di sampingnya, mengulurkan mug teh yang dari tadi bukannya habis diminum malah asyik berkelana.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now