dua puluh tujuh

1.6K 68 0
                                    

Alunan biola berhenti, sekaligus memberhentikan gerakan mereka. Saling tatap, mereka memiliki ekspresi yang berbeda. Shella tetap dalam kekagetannya, dan Keith tetap dalam seringainya.

"Semua orang pasti bingung gimana caranya dua orang yang berbeda bisa saling ngomong di dalam satu tubuh, dan lo pasti termasuk salah satunya, kan? Selagi status lo masih piaraan gue, gue bakal kasih tau apa pun yang lo pengen tau, termasuk tentang Davin. Tapi, sebelum itu ...."

Detak jantung Shella seketika berubah kencang ketika melihat bola mata coklat terang itu bergerak-gerak. Gerak yang aneh. Kemudian berkedip seolah melihat cahaya silau. Perlahan, mata itu kembali terbuka. Terhenti pada satu objek; iris abu-abu Shella. Raut sinis itu berganti. Seiring rautnya yang berubah kaget, mata cowok itu juga terbuka lebih lebar. Seakan kaget. Menandakan bahwa bukan sosok Keith lagi yang berada di dalam tubuh harum itu.

Melainkan ....

Shella tak tahu hendak mengatakan apa. Wajah kaget yang dengan cepat berganti tenang dan datar itu ... amat dikenalnya.

Senyum lembut di bawah alis mata tebal nan teduh itu bergumam, "Cantik." Membuat Shella terlindas hangat yang kentara, terlebih ketika aroma mint dari napas sosok itu semakin dekat, menyatu dengan napasnya yang tercekat.

Untuk pertama kalinya, dia rasakan sensasi berdebar ketika bibirnya disentuh lembut oleh bibir pemuda di depannya. Sekejap, hanya sekejap, sosok itu perlahan menjauh. Melepas diri dari Shella.

Seolah-olah tak percaya pada apa yang baru saja dia lakukan pada gadis itu, sosok itu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Tatapannya untuk Shella terkesan rumit, bercampur rasa bersalah. Kakinya kemudian bergerak mundur lamat-lamat.

Sosok yang Shella yakini adalah Davin itu berbalik, berjalan cepat menuju tangga. Namun, entah kenapa di tangga pertama Davin tiba-tiba terhenti. Dapat Shella lihat Davin tengah menunduk. Bahunya bergetar karena tertawa. Melihat itu, Shella merasa sosok itu berganti lagi.

Keith, terpingkal sendiri. Berkata di sela tawanya, "Udah gue duga! Udah gue duga! Ahahahah!"

Shella yang mematung di tempatnya tak punya keberanian untuk berpindah tempat. Dia lihat sebelah tangan Keith mengepal di atas benteng tangga kaca. Tawa mengerikan itu berhenti, berlanjut umpatan.

"Shit."

Keith melangkah ke atas, berjalan menuju kamarnya. Sementara Shella, gadis naif itu, kian menghempas napasnya. Dia terduduk di lantai sambil memegangi kening.

Shella benar-benar tak mengerti.

**

Shella terbangun. Serta-merta matanya menangkap suasana petang dan hujan di luar dinding kaca. Beranjak dia dari sofa, mengucek mata sembari berjalan. Kemudian, disentuhnya dinding kaca. Dingin. Menembus suasana dalam rumah yang ikutan dingin.

Teringat dia soal Keith. Ada apa gerangan cowok itu? Belumkah dia turun sejak tadi? Shella menoleh menatap tangga, berjalan ke arahnya. Dia abaikan bunga mawar yang masih tergeletak di lantai. Dia angkat sedikit gaunnya yang lumayan mengganggu. Berlari dia menaiki tangga. Menghampiri kamar Keith, ataupun Davin. Terserah.

Dia buka pintu itu. Masuk, menutupnya kembali. Dia lihat sosok jangkung yang sudah berganti pakaian itu tengah berdiri menghadap dinding kaca yang berbulir air. Shella hampiri sosok yang seperti tengah menggendong sesuatu itu. Begitu sudah berdiri di sebelahnya, Shella mengernyit melihat betapa hampanya sorot yang memandang danau luas di hadapannya. Padahal mentari senja yang memantulkan cahaya begitu sejuk dipandang. Padahal rentetan bukit biru di ujung danau begitu nyaman dilihat. Tapi, kenapa, sosok itu, tampak begitu berduka?

Apa sebenarnya yang salah dari kejadian tadi?

Mengingat kejadian tadi pagi, Shella langsung terpaku pada aksi ciuman pertamanya. Padahal sosok itu ada di sini. Namun, entah kenapa, lantaran itu bukan sosok yang sempat menciumnya, jantungnya terasa baik-baik saja. Dia sama sekali tak jantungan. Setidaknya untuk sekarang.

Lupakan itu! Pikirkan tentang Keith yang kini tengah bermenung menggendong kucing anggoranya yang Shella perhatikan tidak bergerak sejak dia muncul.

Shella mengernyit. Itukah sebabnya?

Shella ulurkan tangan, mengusap bulu lembut kucing yang terlelap dalam pelukan Keith. Keith tak bereaksi, tetap menatap kosong bulir air di dinding kaca. Hujan masih mengguyur di tengah sinar petang.

Shella rasakan napasnya mulai memburu. Dia usap kepala kucing itu, menyentuh matanya yang terpicing rapat. Shella tatap Keith yang masih saja seperti robot. Lalu Shella sentuh hidung hewan itu, sedikit terbelalak.

Untuk memastikan, Shella rebut kucing itu, menimangnya. Meski tak memberontak, tatapan Keith tetap saja menakutkan. Shella tak peduli. Dia periksa mulut, dada, dan matanya. Naas. Kucing yang belum dia dengar mengeong itu sudah dipastikan mati.

Ternyata inilah sebabnya Keith tak seperti biasanya.

"Kucing lo mati dan lo cuma ngelamun nggak jelas ngebiarin dia kayak gini?" Tanya Shella sembari mendongak agar bisa menatap wajah Keith leluasa.

Keith menatap tidak suka. Hendak mengambil kembali piaraannya. Namun gagal karena Shella takkan membiarkan itu terjadi.

"Kita musti kuburin secepatnya. Ngebiarin Lucas membusuk sama aja kayak lo nyakitin dia waktu masih hidup." Shella menghela napas. Tak habis pikir entah sejak kapan dia mengingat nama Lucas adalah nama kucing yang malang ini. "Lo bantu cari kain, gue bakal bantu nyangkul kuburannya."

Shella langsung berjalan keluar kamar tanpa peduli apa reaksi Keith. Dia tatap sedih kucing yang terkulai di pelukannya itu. Kucing yang amat tua. Wajar Keith sesedih itu bila kucing ini adalah kucing yang sempat menemani Keith sejak kucing itu masih kecil.

Bukankah itu lucu? Seorang pembunuh, berdarah dingin pula, malah punya empati aneh pada seekor kucing. Tak punya hasrat untuk membunuh sosok yang dia anggap kucing. Tak punya ketertarikan pada moleknya tubuh gadis, padahal dia punya otoritas untuk itu. Apa yang sudah Davin lalui sepanjang hidupnya sampai-sampai kepribadian semacam itu terbentuk dengan sendirinya?

Shella menunggu Keith yang turun membawa sehelai kain putih. Begitu sampai di dekatnya, kain putih itu berpindah tangan. Shella bawa kain dan kucing ke sofa, menidurkan mayat Lucas di sana. Dia lirik Keith yang berjalan ke arah gudang. Dia fokuskan lagi tatapannya ke arah kucing itu, membalut mayatnya menggunakan kain yang Keith berikan.

Usai itu, dia timang kembali si Lucas. Keith datang membawa cangkul dan payung, berjalan melewatinya. Dia susul cowok yang tengah mengotak-atik tombol supaya pintu kaca terbuka. Dia sejajarkan langkah agar tetap di bawah payung yang sama. Shella abaikan pemandangan yang begitu memanjakan matanya. Untuk saat ini dia harus fokus pada acara pemakaman piaraan milik Keith yang malang.

Mereka sampai di rerumputan basah dengan ilalang di sekeliling. Sesuai janjinya tadi, Shella menyerahkan Lucas pada Keith, dan Keith menyerahkan cangkul pada Shella. Namun Keith menolak. Dia singsing lengan sweater dan celana usai menyerahkan gagang payungnya ke Shella. Kemudian mencoba mencangkul. Seolah terbiasa, Shella menelan ludah membayangkan sebab mengapa Keith tampak tak asing lagi dengan aksi mencangkul.

Mungkinkah sudah banyak mayat yang Keith kubur sebelum ini?

Shella menyodorkan mayat Lucas begitu Keith memintanya. Sebelum meletakkan Lucas ke dasar kubur, Shella lihat tatapan sayu itu mengarah dalam pada mayat Lucas. Dari sana Shella begitu paham betapa obsesinya terhadap kucing bukan hal yang dibuat-buat. Terlebih ketika Keith mencium hewan itu untuk yang terakhir kali.

Lucas akhirnya dikebumikan. Shella beri waktu lima menit untuk membiarkan Keith bermenung usai menguburkan kucing itu. Kemudian memaksa Keith untuk segera pergi karena hujan semakin deras.

Gaun bangsawannya kotor dan itu sama sekali tak mengganggu pikirannya. Yang dia cemaskan hanyalah Keith yang susah sekali disuruh berpaling dari kuburan kecil itu.

Setelah ditarik paksa dan Keith sama sekali tak memberontak—hanya saja terlalu berat untuk ditarik—mereka akhirnya masuk juga ke dalam rumah. Shella biarkan Keith yang masuk kamar mandi lebih dulu. Sembari menunggu Keith, Shella sibukkan dirinya untuk membersihkan bercak kotor di lantai akibat jejak kakinya dan kaki Keith. Keith keluar tepat di saat Shella menyelesaikan pekerjaannya. Dia hanya bisa menghela napas ketika Keith masih memasang wajah hampa yang sama.

Shella masuk ke kamar mandi. Siap membersihkan diri dan menimang-nimang apa yang akan dia lakukan setelah ini.

Shella in the Davin's WorldWhere stories live. Discover now