Wina kembali memandang Riko penuh tanya.

"Jangan terlalu banyak narik perhatian, takut nanti ada yang cemburu. Bisa gawat." Ujarnya, sambil tertawa kecil, lalu pemuda itupun pergi meninggalkan Wina dan Rifka yang menatapnya bingung.

"Maksudnya apaan tuh?" Tanya Rifka, memandang punggung Riko yang menjauh. "Apa jangan-jangan dia suka sama lu, Win?"

Wina menatap Rifka skeptis. "Gak usah mikir yang aneh-aneh!" ujarnya, kemudian berbalik.

Rifka ikut berbalik, sebuah senyum terukir di bibirnya. Ya mungkin aja kan, Win. Lagian Kak Riko keren.

***

Air mata menetes perlahan dari ujung mata Wina, sementara gadis itu menyingkirkan rambutnya yang mengganggu dengan satu tangan. Di depan gadis itu, Rifka menatapnya dengan tampak prihatin. Sesekali menghela napas dan menggelengkan kepala.

Wina mengusap hidungnya dengan punggung tangan, tapi kemudian itu membuat matanya kembali berair dan tampak semakin menyedihkan.

Dengan tak sabar, akhirnya Rifka nendekati Wina, menyambar pisau di tangan gadis itu. "Udah sini, biar gue aja."

"Tapi Rif, hiks..." Wina mengerjap-ngerjapkan mata, kali ini takut untuk mengusapnya.

"Ya ampun Sha! Lu kenapa?" Tiga orang gadis yang merupakan teman satu kelompok Rifka dan Wina mendekati mereka dengan tampang khawatir. Meletakan semangkuk jagung yang baru saja dia cuci di atas kursi kecil, Risti menghampiri Wina. "Lu gak apa-apa?"

Wina melambaikan tangannya, mengusap air mata dengan lengan baju. "Gak apa-apa, Ris."

"Terus kenapa lu nangis?" Tya yang berdiri di belakang Risti dengan tangan memegang peralatan makan jelas merasa khawatir.

Rifka menutar matanya, "gara-gara bawang." Ujarnya datar. "Siapa yang nyangka kalau teman kita yang cantik ini gak bisa masak."

"Apa hubungannya wajah sama masak, Rif! Lagian siapa di dunia ini yang ngiris bawang gak nangis coba?" Wina membela diri, mengusap ujung mata dengan lengan panjang kaosnya.

"Oalah, kirain kenapa." Risti tertawa. "Ya udah, cuci muka dulu gih, Sha. Mata lu sampe merah gitu." Lanjut gadis berambut sebahu itu.

Rifka mengangguk setuju. "Iya tuh, kalau lu usap-usap kayak gitu terus nanti malah makin merah mata lu." Ujar gadis itu, mulai mengambil alih tugas Wina untuk mengiris bawang. "Dan fyi, gue salah satu orang yang ngiris bawang gak pake nangis." Tambahnya kalem.

Wina memutar matanya yang perih. "Ya udah kalau gitu, gue kekamar mandi dulu." Lalu diapun berdiri dan melangkah menuju kamar mandi.

***

Setelah mencuci tangannya dengan sabun bersih-bersih, dan membasuh matanya dengan air jernih yang jelas di alirkan dari mata air, Wina merasa pedih di matanya jauh berkurang. Bukan salahnya karena tidak bisa mengiris bawang, karena sejujurnya Wina jarang menyentuh dapur. Hal tentang masak memasak yang mendekati Wina paling cuma masak air dan mie instan. Selama ini dapurnya hanya dikuasai ibu dan asisten rumah tangga. Jadi untuk bertahun-tahun lamanya, baru kali ini lagi gadis itu menyentuh bawang mentah.

Setelah merasa jauh lebih baik meskipun matanya masih sangat merah di ujung-ujungnya, Wina memutuskan untuk kembali ke kelompoknya. Tapi gadis itu baru berjalan bahkan tak lebih dari lima meter saat dia menabrak sesorang. "Maaf." Ujarnya, mengusap hidung yang sakit. Mengangkat wajah, seketika gadis itu terkejut.

Berdiri di depannya, Ridan, menatapnya dengan intens.

Klise banget, sumpah!

"Lu kenapa?" Pemuda itu menunduk, menatap wajah Wina yang datar.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now