Nazwa curiga, mungkin Kak Axel orang terkenal di KoV, jadi gadis itu mengangguk dengan semangat.
Wina menatap Rifka memohon bantuan, tidak percaya dengan persetujuan Nazwa. Meskipun Rifka tak mengerti, tapi gadis itu memberikan anggukan menyetujui. “Dia Lord Dark Iron, dan yeah sebelum dia hilang dari peredaran dia itu legenda KoV.” Jelas Wina acuh.
Kali ini, sebelum Nazwa sempat berteriak histeris lagi, Rifka sudah membekap mulut gadis itu kuat-kuat.
“Serius deh Zwa, lu udah berapa kali teriak dalam setengah jam terakhir.” Wina melirik gadis itu tak berdaya.
Nazwa melepaskan tangan Rifka dari mulutnya dengan tak sabar, dan mengusapnya dengan tisu. Pandangannya pada Wina menghina. “Lu berharap reaksi gue bakal gimana? Gue ini pemain veteran KoV, jadi tahu kalau Lord Dark Iron yang terkenal ternyata satu kampus sama gue, jelas ajalah gue histeris." Berdecak, meraih jus mangga mudanya, Nazwa mencoba menenangkan diri. "Apalagi ternyata aslinya macam dewa yunani kayak gitu, ya ampun gue jadi ingat kalau tadi kaosnya nempel kebadan dan bayangan perutnya yang kotak-kotak bikin khilaf!” jelasnya setengah melamun, out of topic!
“Masa?! Kok bisa kaosnya nempel? Harusnya lu foto, gue pengen liat…” Rifka ikut-ikutan, memandang Nazwa iri.
Sebenarnya, Wina juga iri mendengarnya, tapi gadis itu cukup bijaksana untuk tidak mengomentari.
“Tadi dia lagi beres-beres ruang aula sama senior yang lain, terus dia keringetan, ngelap leher pake kerah kaosnya, eh sama Kak Riko dia disiram air sebotol. Jadi basah deh semua bajunya,”
“Kenapa Kak Riko nyiram dia pakai air”
“Fan service katanya, gue sih sebagai penonton gak keberatan, tapi kalau jadi Kak Riko gue bakal pesan kavling buat kuburan gue.”
“Gue turut berduka untuk Kak Riko.” Rifka memasang tampang khusuk.
Nazwa mengikuti dan mengangguk. “Gue juga turut berduka.”
“Dan kalau udah selesai berduka, gue mau pulang.” Wina menambahkan, berdiri dan mengambil ranselnya.
“Eh,.. Eh mau kemana? Lu kan belum selesai cerita, Win.” Nazwa dan Rifka masing-masing menarik baju dan tangannya mencegahnya untuk pergi.
“Gue kira kalian mau lanjut fangirling, jadi gue mending pulang. Gue mau nyiapin perlengkapan buat besok.” Ucap gadis itu datar. Sebenarnya, entah mengapa Wina agak merasa terganggung dengan reaksi Nazwa dan Rifka terhadap Kak Axel.
“Kenapa? Jealous ya?” Nazwa menyeringai.
Wina memandang mereka berdua dengan datar sejenak, sebelum kembali berusaha untuk pergi.
Nazwa menariknya dengan kuat. “Ok! Ok! Sorry! Ayo duduk lagi, lu kan belum selesai cerita. Sampai mana tadi?” Nazwa melirik Rifka, yang segera disambung.
“Lu kenal Kak Axel dari SMA pas main game.”
Wina terdiam sejenak, sebenarnya mood-nya sudah hilang untuk bercerita. Tapi dia tahu bahwa Nazwa dan Rifka akan terus mengganggunya, jadi gadis itu putuskan untuk menyingkatnya. “Ya gitu, gue kenal pas SMA, dan dia beda banget dari dia yang sekarang, terus karena kami udah gak berhubungan nyaris tiga tahun, so makanya gue lupa kalau gue kenal dia.”
“Kenapa lu gak berhubungan lagi sama dia?”
Wina melirik Rifka, “karena kami putus.”
“Nah, kenapa bisa putus?”
Kali ini Wina memandang Nazwa, tapi gadis itu terdiam cukup lama sebelum memutuskan menjawab Nazwa. “Karena kami gak cocok.” Ucapnya semakin pelan, nyaris tak terdengar.
“Alasan gak cocoknya?”
“Ya jelas karena putri duyung hanya bisa merindukan pangeran, Zwa. Secara Kak Axel ganteng dan ternyata dari dulu udah terkenal. Jadi gimana Wina bisa disandingin sama doi. Akhirnya putri duyung jadi buih kan.” Ujar Rifka, matanya melewati Wina. “Beda ceritanya kalau sama Kak Sonia. Dilihat dari manapun, mereka berdua tuh cocok banget.”
Melihat Rifka yang tak fokus, Wina dan Nazwa akhirnya mengikuti arah pandang gadis itu. Tak jauh dari tempat mereka berada, Axel tengah duduk di atas motor sport berwarna hitam merah, sedang menggunakan helm. Disebelahnya ada Sonia yang sedang berbicara, karena jarak mereka cukup jauh dengan parkiran, ketiga gadis itu tak bisa mendengar apa yang Axel dan Sonia perbincangkan.
Tapi kemudian Sonia tertawa, menyerahkan tas yang kemudian dipakai Axel sambil mengangguk. Lalu, pemuda itu meninggalkan parkiran, melewati Wina dan kedua temannya tanpa satu lirikanpun.
Menatap punggung Axel yang perlahan menjauh hingga menghilang di pertigaan, entah kenapa rasanya dada Wina hampa.
“See? Dia bahkan gak ngelihat Wina. Jadi gue rasa, kejadian di kamar mandi tadi cuma khilaf.”
“Udahlah Win, anggap aja cuma khilaf.”
“Benar banget! Lagian masih baru kan? Beberapa bulan lagi lu sama dia juga bakal lupa.”
Bakal lupa? Ini udah tiga tahun, tapi ternyata dia belum lupa, dan ternyata—sekarang gue justru takut karena udah lupa.
“Win?”
Sentakan Nazwa akhirnya menyadarkan Wina dari lamunan, gadis itu mengerjap dua kali sebelum memfokuskan pandangannya. Menatap Nazwa dan Rifka yang khawatir, Wina mengukirkan senyum ragu.
“Win, lu oke?” Tanya Rifka lembut.
“Kenapa gue gak oke?” Wina meraih es teh manis, dan meminumnya hingga tandas.
“Lu masih ada rasa sama Kak Axel ya?”
“Enggak.”
“Gak usah bohong, Win.”
Wina menarik napas, dan menatap Rifka yang memasang tampang benar-benar khawatir, sementara Nazwa menatapnya dengan menyelidik. “Dengar ya, kawan-kawanku. Gue udah move on dari Kak Axel, dan asal kalian tahu setelah gue putus sama dia gue pacaran sama idola sekolah gue. Jadi, Rifka,” Wina menunjuk Rifka dengan pandangan tegas, membuat gadis itu berjengit. “Gue bukan putri duyung yang berubah jadi buih. Sorry-sorry aja ya.”
Nazwa tertawa. “Tapi pada akhirnya, kita masih tinggal di Indonesia. Selama janur kuning belum melengkung, Kak Axel masih bisa ditikung.”
“Zwa, ironisnya bahkan setelah janur melengkungpun, orang masih ada aja yang nikung.” Rifka mengkoreksi.
“Kalau gitu, selama bendera kuning belum melambai, Kak Axel masih bisa digapai.” Ralat Nazwa, mengangguk untuk meyakinkan.
Wina memutar matanya, mengambil ransel gadis itupun berdiri.
“Mau kemana lu Win?”
“Pulanglah, udah sore banget, lagian gue belum nyiapin perlengkapan buat besok. Jadi gue gak minat dengerin diskusi kalian soal janur dan bendera, gak berfaedah banget sih.”
“Tunggu Win, ikut gue juga mau pulang.”
“Eh bareng dong, bentar gue habisin jus manga muda gue dulu!”
Wina, hanya menghela napas untuk kesekian kalinya, dan kembali pasrah. Tidak bisa ingat bagaimana mereka bisa berteman dan jadi akrab.
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 16
Start from the beginning
