Wina mendengus, melipat tangan di depan dadanya, gadis itu terdiam sejenak. Memikirkan hati-hati untuk apa yang akan dia ucapkan setelah ini. "Kemarin Kakak udah bilang kan kalau dia nembak Kakak?" Suaranya pelan, memperkirakan bagaimana reaksi Sidney.

Berdiri dengan terkejut, Sidney membulatkan matanya hingga Wina takut bola mata gadis itu bisa saja menggelinding di lantai. "Hah?! Kapan?! Kakak gak cerita! Seriusan dia nembak Kakak?" Teriaknya gak nyantai, meletakan sushi kembali ke atas meja belajarnya, dia mendorong kursi dengan kaki ke depan Wina.

"Kemarin pas pulang dari ketemuan sama Lordie kan Kakak ngomong, terus kamu ngusir Kakak keluar dari kamar." Jelas Wina, bete. Yah sebenarnya, kalaupun Sidney tidak ingat tidak bisa disalahkan juga, karena kemarin itu setelah Wina terusir dari kamarnya, Wina tidak menyebut-nyebutnya lagi.

Sidney merenung sejenak, mengingat-ingat. Tapi informasi itu tidak nyangkut di kepalanya, jadi dia menggeleng pelan. "Kapan Kak? Aku kok gak ingat ya kalau Kakak ada bilang..." ujarnya, masih berusaha mengingat, tapi rasanya otaknya kosong semakin dia mencoba untuk mengingat. Seakan seperti di film Inside Out, bola ingatan gadis itu jatuh ke area abu-abu yang terlupakan.

Wina menghela napas pasrah. "Ya udalah, pokoknya gitu. Kemarin dia nembak, dan hari ini dia ngajak jalan lagi."

"Terus sekarang berarti kalian jadian?"

Menggigit bibirnya dengan canggung, Wina menggeleng.

"Kakak nolak dia?"

Untuk kedua kalinya Wina menggeleng.

"Hah? Gimana maksudnya?" Tanya Sidney bingung.

Wina kembali menghela napas, memandang Sidney dengan canggung dan agak tak yakin. "Dia nembak, tapi Kakak belum jawab. Tadi juga seharian jalan kami gak ada bahas-bahas itu, bahkan sebenarnya kami gak banyak ngobrol awalnya. Kami cuma nonton, makan, terus pada akhirnya malah ngewarnet, main game. Sebelum main game, rasanya canggung banget."

"Terus intinya?" Sidney menyipitkan matanya, merasa agak tak sabar.

"Ya itu, kami belum jadian atau apa. Dia nembak, Kakak gak jawab, dia gak nanya, Kakak juga gak nyinggung-nyinggung."

"Terus sekarang kalian kayak gimana?"

"Ya kayak biasa aja. Dia hari ini pulang ke Semarang, soalnya besok sekolah katanya." Dan Wina baru ingat kalau dia belum membalas chat Axel. Jadi gadis itu kembali kepada ponselnya dan mengetikan 'Oke, hati-hati di jalan.'

"Terus kalau dia nanya jawaban Kakak gimana? Kakak mau nerima dia?"

"Hah?" Wina mengirim chatnya, dan kembali memandang Sidney. Tatapannya penuh spekulasi. "Menurut kamu gimana?"

"Lho kok nanya aku? Kakak suka gak sama dia?"

Wina tak menjawab, masih terus memandang Sidney. Seakan-akan Sidney bisa memecahkan masalah itu untuknya, dia lupa kalau Sidney padahal masih kelas dua SMP.

Sidney akhirnya menghela napas tak sabar. "Gini ya Kak, menurut aku, kalau dari wajah sih dia gak ada apa-apanya dibanding Kak Dira. Bahkan, akui aja dia tuh cupu banget. Kumisnya bahkan kayak om-om!"

Wina mendengarkan, semakin ragu. Dia nyaris melupakan Kak Dira, tapi setelah diingatkan seperti ini tanpa sadar dia kembali membandingkan keduanya, dan yang dikatakan Sidney ada benarnya.

"Tapi, kemarin kayaknya aku juga udah bilang, asalkan orangnya baik aku sih gak begitu peduli tampang. Dan Kak Lord Dark Iron ini kayaknya orangnya baik, kemarin aja kita makan di traktir kan? Terus ini dia bahkan beliin aku sushi." Tersenyum girang, Sidney jadi tidak sabar untuk memakan sushinya. Pasalnya, ini dari restoran yang dia suka, yang tidak akan bisa dia datangi kecuali dia pergi sama Mama sama Papa. Uang jajannya kan tidak sebesar itu.

"Jadi kamu mau bilang kalau kamu cuma seharga sushi?" Tanya Wina datar.

"Ya enggak sih, Kak." Buru-buru Sidney membantah. "Sebenarnya, pas di ajak ngobrol juga dia asik. Terus, asal kakak tahu, Lord Dark Iron itu kaya!"

"Kamu tahu dari mana?" Memandang Sidney, Wina jelas-jelas curiga. "Apa karena dia beliin kamu sushi?" Tanyanya lagi. Kalau boleh jujur, sebenarnya Wina tidak begitu memperhatikan status keluarga orang-orang. Baginya, jika Axel kaya atau miskinpun sama saja. Karena bagaimanapun, seperti Sidney, Wina pikir asalkan baik, mereka pantas untuk didekati.

"Bukan cuma karena itu. Lord Dark Iron itu, gamer level dewa. Akunnya bahkan punya senjata limited edition yang bisa dibeli cuma pake diamond, dan diamond ini susah dapatnya kalau cuma ngandelin quest. Kalau mau cepat dapat, harus beli pake uang. Dan senjata punya Lord Dark Iron itu harganya mahal, bahkan salah satunya aja ada yang sampai ratusan ribu." Dengan menggebu-gebu Sidney menjelaskan.

Wina mendengarkan, sebenarnya dia tidak terlalu mengerti setengah dari kata-kata Sidney. Tapi satu hal yang dia tangkap, bahwa Axel bisa begitu royal menghabiskan uang hanya untuk peralatan game.

"Terus, dia juga youtuber. Youtube-nya banyak yang subscribe, walau cuma video game dan suara Lord Dark Iron aja yang kedengeran ngasih ulasan, tapi view-nya bisa sampai jutaan. Belum lagi, dia juga jadi pembicara online buat ulasan game di forum resmi KoV. Kurang apa coba?"

Menurut penjelasan Sidney, rasa-rasanya Axel itu hebat banget, dan Wina tiba-tiba merasa kecil. Bagaimana bisa orang sehebat itu menyukainya?

Ah, tapi kehidupan di dunia online kan berbeda dengan dunia nyata. Mungkin dia cukup canggung di dunia nyata, bukan orang yang populer juga sepertinya. Tunggu-tunggu, Win! Jangan bandingin dia sama Kak Dira lagi! Lagipula, Lordie itu-baik.

"Jadi gimana, Kak?"

Wina berkedip memandang Sidney. "Apanya yang gimana?" Tanyanya bingung.

Sidney berdecak. "Kok apanya yang gimana? Kakak terima dia atau enggak?" Tanya gadis itu tak sabar.

Wina pun berdiri, mendekati Sidney dan menggetok puncak kepalanya yang membuat gadis itu mengaduh. "Mau tau aja! Ini urusan orang dewasa! Anak kecil gak boleh usil." Dia pun berjalan ke luar kamar.

"Apaan sih! Kita cuma beda tiga tahun tau!" Sidney misuh-misuh, mengejar Wina yang sudah keluar kamarnya dan berjalan di lorong menuju kamarnya sendiri. "Udah gitu kan tadi Kakak yang nanya pendapat aku!"

"Udah malam, ikan bobo!"

"Gak nyambung! Lagian baru jam enam!"

Wina tak membalasnya lagi, karena satu pesan, baru saja masuk ke whatsapp-nya.

Lordie: Gue harap hari ini menyenangkan.
Lordie: Dan meski gue tadi cukup canggung untuk gak banyak ngobrol sama lu, gue harap lu gak kapok.
Lordie: Karena gue belum nerima jawaban atas pertanyaan gue kemarin.
Lordie: Lu mau jadi pacar gue?

Wina tersandung kakinya sendiri, untung jatuhnya tidak begitu menyakitkan. Dengan derai tawa Sidney di belakangnya, Wina masuk kekamar. Matanya masih terpaku pada ponsel di tangan, dan sebuah senyum terukir di wajah gadis itu.

Bagaimanapun, yang namanya ditembak rasanya senang juga.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now