IF I CAN - EXTRA PART

992 15 4
                                    

"Karena kamu, bagian dariku yang kini melengkapi setiap cerita bahagia yang akan terukir manis."

--

*Lima belas tahun kemudian*

"Mas, ayo bangun dulu. Udah shubuh," ujar Andin menggoyangkan lengan Ari. "Hm, iya sayang," Ari membuka matanya. Mengucek matanya sebelum bangun dari pembaringannya. Lagaknya persis seperti Difa apabila dibangunkan.

"Ayah Bunda bangun, kita sholat shubuh berjamaah." Suara Dafa terdengar dari luar kamar sembari mengetuk pintu kamar mereka. "Iya sayang, sebentar lagi kami keluar," balas Andin lalu beranjak.

Ari menahan tangannya, "morning kiss?" Tagih Ari dengan wajah memelas. Andin tersenyum lalu mencium pipi sebelah kanan Ari. "Udah ayo ditunggu sama anak-anak," Andin benar-benar beranjak dari ranjang. Lalu, masuk ke kamar mandi untuk bersiap wudhu.

Ari dan Andin masuk ke dalam ruangan yang dijadikan musholla kecil di rumahnya, untuk menjadi tempat sholat bagi keluarga.

Mereka semua sholat berjamaah, dengan Ari yang menjadi imam.

Selesai sholat, mereka masih duduk di atas sejadah mereka masing-masing.

"Difa ikut Bunda ke dapur yuk?" Ucap Andin mengajak anak perempuan semata wayangnya. "Oke Bunda," balas Difa.

"Nah, Bang Dafa sama Dika ikut Ayah ke taman yuk. Kita bersihin taman," ajak Ari.

Dika Ratra Septian

Anak terakhir Andin dan Ari yang berusia 12 tahun. Berbeda 5 tahun dengan si kembar.

"Oke siap Ayah," balas keduanya lalu beranjak untuk melipat sejadah sebelum ke luar dari ruangan tersebut untuk menuju taman di depan teras rumah mereka.

Pasukan lengkap yang semakin melengkapi kebahagiaan Andin juga Ari. Sedih, manis, pahit, bahagia sudah mereka lalui bersama.

Sikap Ari yang lebih mengalah menjadi penenang di atas sikap keras kepala yang dimiliki oleh Andin. Namun, sikap Andin yang tegas mampu mengimbangi Ari yang tidak gampang marah. Lelaki yang menyelesaikan masalah tanpa amarah.

--

"Abang sama Kakak gimana kuliah hari pertamanya sayang?" Tanya Andin saat mereka tengah duduk bersantai di ruang keluarga. Difa yang tengah tertidur di paha sang Ayah. Lalu, Dafa juga Dika yang duduk di sisi Andin.

"Seru, Ma. Teryata gak segampang yang aku pikir saat SMA dulu. Kalau sekarang itu harus lebih aktif lagi, tugas juga udah mulai berdatangan," cerita Difa.

"Betul yang dibilang Difa, Ma. Kalau dulu pas SMA pengen banget ngerasain gimana rasanya kuliah. Kalau sekarang mah kangen masa-masa SMA," lanjut Dafa.

"Kalau gitu aku gak mau cepat-cepat gede deh," celetuk Dika saat mendengar cerita kakak kembarnya.

"Semua proses pasti ada titik tersulitnya, kalau semua mudah terus, kalian pasti gak bakal mau belajar." Ari memberikan petuah, "Ayah kalian benar. Nikmati prosesnya, semua pasti gak bakal kerasa kok. Dulu, Bunda juga gitu. Tiba-tiba sudah wisuda aja, serasa baru kemarin ospeknya," cerita Andin.

"Semangattt Abang, semangatt Kakak," ujar Dika menyemangati saudaranya. "Bunda sama Ayah selalu ada untuk kalian," ujar Ari memberikan motivasi kepada anak-anaknya.

"Ayo sekarang kita istirahat. Sudah malam, besok kan mau sekolah. Harus bangun pagi," Andin beranjak. "Oke Bunda, aku sayang Bunda Ayah," ujar Difa mencium pipi Andin dan Ari. "Aku juga," dilanjuti oleh Dafa dan Dika.

"Nice dream sayang," balas Andin melihat anak-anaknya yang sudah memasuki kamar mereka masing-masing.

Ari merangkul bahu Andin. "Yuk, istirahat," ajak Ari. Andin mengangguk, lalu ia melingkarkan tangannya di pinggang Ari.

[3] IF I CAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang