IF I CAN - 4

855 30 0
                                    

Rindu, pada siapakah rindu ini akan bertuan?

Rindu, sanggupkah kau menunggu sebentar lagi? Sampai tuanmu datang kembali.

Rindu, salahkah rindu ini? Salahkah aku menyimpan rindu ini?

Rindu, kapan engkau berhenti? Setidaknya untuk tidak merindukannya lagi.

Rindu, bolehkah aku menyerah? Untuk tidak merindukannya lagi, sungguh lelah rasanya.

Rindu, jika aku boleh memilih, aku tidak ingin rindu ini bertuan padanya, dan tertuju padanya, karena aku tak ingin rindu ini berakhir sia-sia.

--

Author POV

Semesta seperti mempermainkannya kembali saat ini. Di saat semuanya sudah berjalan dengan baik, namun mengapa ia tidak bisa beranjak dari tempatnya sekarang. Beranjak untuk pergi menjauh, mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Begitulah yang dirasakan oleh Andin, bahkan dengan susah payah dulu ia berusaha untuk bangkit. Lalu, kini di saat ia telah bangkit dan siap untuk melangkah pergi, ada sesuatu yang menahannya. Ya, itu kenangan.

Walau tidak begitu lama, namun kenangan itu bukan perkara yang mudah untuk dilupakan. Terlebih saat di mana Andin berada pada fase yang benar-benar berat dalam hidupnya, kehilangan sosok wanita yang begitu ia sayangi. Dan saat itulah Arkan ada untuknya, menemaninya, bahkan menjadi saksi betapa rapuhnya Andin saat itu. Arkan pula ikut ambil andil saat Andin bangkit dari fase itu, bagaimana perhatian Arkan pada Andin, bukan hanya pada Andin, tapi juga keluarganya. Lalu salahkan Andin, jika sampai saat ini ia belum bisa melupakan Arkan? Di saat kenangan itu begitu membekas dalam hati dan pikirannya.

--

Seperti hari biasanya, pagi ini Andin kembali menjadi rutinitasnya sebagai mahasiswi. Ya, kuliah. Praktik pagi ini Andin tetap semangat walaupun badannya sedang tidak fit. Sebenarnya praktik pagi ini adalah praktik ganti dikarenakan kemarin libur sehingga praktiknya diganti hari ini. Dengan hidung yang mampet, kemudian badan yang demam, menyebabkan Andin tidak begitu leluasa saat praktik. Tidak bisa berdiri lama, yang akan menyebabkan badan Andin limbung tiba-tiba.

"Istirahat aja, Ndin. Biar sisanya aku yang bersihkan," ucap Putri yang menghampiri Andin, saat melihat Andin sedang memegang kepalanya. "Gapapa kok, Put. Dikit lagi selesai." Tidak enak rasanya membiarkan Putri membersihkan sisa praktik tadi sendirian. Terlebih sudah kerap kali Andin tidak sehat seperti ini, sehingga tidak bisa membantu banyak.

Andin sendiri juga bingung, kenapa kini badannya cepat sekali letih. Padahal dulu, ia tidak mudah sakit seperti ini. Namun kini, ia tidak bisa capek sedikit. Jika sudah kecapekan, tensi Andin langsung drop yang membuatnya jatuh sakit.

"Masih praktik?" begitulah isi chat yang diterima Andin. Orang yang mengirim chat itu adalah Andry, sahabat dekat Andin.

"Masih, kamu udah berangkat kerja?"

"Sudah. Yaudah, kamu jangan kecapekan ya. Kalau capek langsung istirahat, jangan lupa makan sama sholatnya. Jangan sampai sakit seperti kemarin, semangat." Andry tidak mengetahui kalau Andin sedang sakit. Tidak ingin Andry khawatir, itulah yang ada di pikiran Andin. Karena jika Andry tau kalau Andin sedang sakit, maka jangan tanya seperti apa kecerewetan Andry untuk menasihati Andin.

Sebenarnya Andin tidak ingin terlalu dekat dengan Andry, karena Andin sadar diri kalau Andry sudah memiliki pasangan. Bukan apa-apa, aku tau bagaimana rasanya saat mengetahui lelaki yang kita sayangi dekat dengan wanita lain, walau itu hanya sebatas teman. Semua juga berawal dari teman, bukan?

Hal itulah yang menjadi pertimbangan Andin untuk tidak terlalu dekat dengan Andry. Walaupun Andry mengatakan tidak apa-apa, namun Andin tetaplah wanita yang tentunya akan mengerti perasaan pasangan sahabatnya itu.

--

"Aku pulang duluan ya, lagi gak enak badan. Takutnya malah besok jadi benar-benar drop," ucap Andin pada sahabat-sahabatnya yang tengah kumpul setelah kelas usai. "Ya, Ndin. Hati-hati bawa motornya," ucap salah satu di anatar mereka, kemudian yang lain hanya mengangguk seraya melambaikan tangan. Andin hanya mengangguk seraya melanjutkan langkahnya menuju area parkir.

Sungguh hari ini, badan Andin benar-benar lemas. Namun Andin tetap memaksakan diri, dengan sisa tenaga Andin berusaha agar bisa sampai rumah dengan selamat.

Sesampainya di rumah, tanpa melepaskan seragam. Andin langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, dengan harapan setelahnya nanti sakit di kepalanya akan membaik. Namun, tidak. Sakit itu semakin menjadi yang mengakibatkan Andin menangis karena kepalanya yang teramat sakit. Entah bagaimana ceritanya. Sesak. Itulah yang dirasakan Andin. Sulit bernapas yang membuatnya harus mengeluarkan banyak tenaga, setidaknya agar oksigen dapat masuk melalui hidungnya.

Mendengar suara tangis, membuat Rifki, Kakak kedua Andin sontak masuk ke dalam kamar Andin. Menyalakan lampu, dan melihat keadaan sang Adik. Terkejut bukan main, ketika Rifki melihat Andin yang tengah kesulitan bernapas, ditambah tangis yang belum reda juga.

"Dek, kamu kenapa? Yaa Allah," ucap Rifki yang juga ikut panik. "Se..sakk," balas Andin dengan tertatih-tatih. Melihat itu Rifki tidak tinggal dia, ia mengambil air dan menyodorkannya kepada Andin untuk diminum.

Rifki tak henti-hentinya membaca do'a agar Andin tidak mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Dengan terus Rifki meminta Andin untuk mengambil napas dan membuangnya secara perlahan agar napasnya bisa teratur.

"Jangan nangis, Dek. Ambil napas, buang," mendengar itu, Andin mengikuti intruksi dari sang Kakak.

Setelah 15 menit kemudian, barulah napas Andin dapat teratur. Sesak yang tadi, sedikit demi sedikit berhenti. Rifki terus menghapus air mata yang jatuh dari mata Andin, "Adek kenapa? Udahan ya nangisnya, jangan nangis terus," mendengar kalimat itu, bukannya berhenti, tangis Andin semakin menjadi. "Adek kenapa? Bilang sama Abang,"

"Kangen Mama," hanya itu yang terucap dari bibir Andin, mendengar itu, refleks Rifki mengelus kepala Andin. "Ya. Mama udah tenang di sana, Dek. Udahan ya nangisnya, Mama gak suka kalau ngelihat Adek nangis, nanti setelah Adek baikan, kita kunjungi Mama, ya?" Andin hanya mengangguk.

9 bulan sudah semenjak kepergian sang Mama, kehilangan yang begitu telak bagi Andin. Kehilangan sandaran hidup, kehilangan salah satu penyemangat hidupnya. Kehilangan itu pula yang membuat Andin berubah. Tak seperti dulu, kini ia harus lebih dewasa. Lebih memikirkan kepentingan Iza, Adiknya terlebih dahulu dibandingkan kepentingannya.

Menjaga Papa, Abang serta Adiknya merupakan tanggung jawabnya kini. Menggantikan peran sang Mama yang tidak mungkin bisa terganti, namun Andin akan berusaha. Setidaknya Mama bisa tenang di sana melihat kami baik-baik saja, begitulah kata Andin. Ia tidak ingin tampak lemah di depan orang-orang. Ia tidak ingin orang lain mengasihinya, ia tidak ingin orang lain menatap rendah padanya. Maka dari itu Andin nampak kuat dari luar, namun ketika di rumah, melihat foto wisuda Papa dan Mamanya, tak dapat dipungkiri air mata akan menetes dari mata Andin, sungguh ia begitu merindukan melaikat tak bersayapnya.

"Dek, ini tensinya turun lagi ya," begitulah yang dikatakan perawat saat Andin pergi ke Dokter. "Adek pasti begadang lagi, ya? Sampai jam berapa begadangnya?" tanya dokter saat melihat riwayat medis Andin. "Jam 3, Dok," jawab Andin sekenanya.

"Hm, itu namanya bukan begadang, Dek. Tapi gak tidur. Itu sudah hampir shubuh, dan kamu gak tidur. Jadi di sini, yang menyebabkan sesak adalah karena kurangnya oksigen yang masuk ke dalam otak, sehinga otak memerintahkan untuk menguap agar mendapatkan oksigen lebih banyak. Dan di sini, Adek bernapas seperti itu agar mendapatkan oksigen lebih banyak lagi untuk masuk ke otak. Jadi, untuk lain kali begadangnya dijarangin ya, kalau ada tugas kerjainnya saat shubuh saja. Tidurnya harus teratur, makan sama minum vitaminnya jangan lupa ya, ini resepnya, lekas sembuh," mendengar penuturan itu, Andin hanya bisa tersenyum. "Terimakasih, Dok." Lalu Andin bangkit lalu bersama Rifki, ia menebus obat lalu kembali pulang untuk istirahat.

Sesungguhnya sakit ini bukan hanya karena lelah fisik, ia juga lelah batin, memikirkan keluarganya, kuliah, termasuk perasaannya.

--

To be continue...

Sweet,

sider

[3] IF I CAN [Completed]Where stories live. Discover now