IF I CAN - 12

321 18 0
                                    

"Terkadang, kamu perlu untuk terjatuh. Agar langkah selanjutnya kamu lebih kuat, tak goyah untuk tetap melangkah."

--

Author POV

"Hai," sapa Arkan yang sudah menunggu Andin sedari tadi di depan jurusan tempat Andin kuliah.

"Hai juga, udah lama nunggu, Ar?" Tanya Andin, "lumayan sih, tapi it's okay, Ay," Andin tersenyum mendengar panggilan itu.

"Langsung pulang, ya?" Pinta Andin saat ia sudah naik ke motor Arkan seraya mengunci helm yang digunakannya.

"Siap,"

Motor itu melaju, berjalan meninggalkan tempat itu. Tempat yang menjadi saksi, di mana, di balik sana ada seseorang yang menatap kepergian Andin, sejak beberapa hari yang lalu.

--

"Makasi, Ar," ucap Andin, seraya melepaskan helm yang dipakainya. "Aku langsung balik, ya, assalamu'alaikum," pamit Arkan.

"Wa'alaikumussalam,"

Arkan melaju. Andin nampak gelisah semenjak tadi, dan Arkan menyadari itu. Karena sedari kampus Andin tadi, Andin diam sepanjang jalan. Tanpa berucap sepatah katapun, namun Arkan masih belum ingin bertanya lebih pada Andin.

Andin melangkah lesu menuju kamarnya, ia menaruh tasnya di atas kursi di samping meja belajarnya. Lalu ia duduk di atas ranjang, dengan tatapan yang lurus ke depan, menatap jendela yang masih tertutup dengan tirai.

Flashback On

"Ndin," sapa putri saat Andin baru saja menaruh tasnya di atas meja, "iya, kenapa, Put?" Tanya Andin, dengan tangannya masih memperbaiki jilbab yang kurang rapi menurutnya.

"Ada surat nih," balas Putri seraya memberika secarik surat dengan kertas berwarna biru itu. Andin menerimanya, dengan sebelumnya ia mengucapkan terimakasih pada Putri.

Andin duduk, kemudian menatap sekelilingnya, masih sepi rupanya. Karena hari ini ia berangkat terlalu pagi, sebab Arkan ada kuis pagi ini.

Perlahan Andin membuka secarik kertas itu, ada tulisan dengan tinta hitam di atasnya. Tulisan yang begitu rapi menurutnya.

Kata demi kata yang Andin baca perlahan, mencoba memahami setiap kata yang tertulis di atas kertas yang berwarna biru itu.

'Hai, Andin. Selamat pagi.
Maaf, mungkin saya terlalu pengecut rasanya, menyapamu melalui secarik kertas ini. Ya, benar sekali. Saya tidak berani bertemu sama kamu. Bukan karena saya takut sama kamu, hanya saja saya takut rasa ini akan kembali kuat jika saya bertemu sama kamu.
Sebut aja saya terlalu cepat jatuh hati terhadapmu, sangat cepat, mungkin.
Karena semenjak pertemuan saat itu, di depan perpustakaan itu, saya sudah merasakan hal yang berbeda, itu denganmu, Ndin.
Hari demi hari saya lalui bersamamu, kesederhanaanmu saya suka, sikapmu yang begitu peduli membuat rasa ini semakin kuat. Hingga saya sampai lupa kalau saya telah jatuh sedalam-dalamnya terhadapmu, Ndin. Dan hari itu tiba, hari di mana semua hal yang terjadi membuat saya bingung. Kenapa? Karena kamu berubah tanpa sebab, kamu menjauh tanpa alasan, membuat saya bingung harus berbuat apa.
Saya tidak tahu letak kesalahan saya di mana, sampai hari itu kamu menceritakan semuanya, dan saya kira saya akan mendapat kesempatan itu. Tapi, apa? Sedari awal kesempatan itu tak pernah ada, sedikitpun.
Dan saya sadar, sedikitpun saya tidak bisa memasuki ruangmu, dan Arkan. Tidak sama sekali.

Melalui surat ini, saya hanya ingin bilang, kalau bersama kamu, relung ini bergetar tak menentu. Hati ini begitu nyaman di dekatmu, dan apakah bisa saya mengartikan kalau saja jatuh cinta sama kamu?

[3] IF I CAN [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz