IF I CAN - 6

621 26 0
                                    

"Mulutmu mungkin bisa saja berbohong, tapi tidak dengan tatapan itu."

--

Author POV

Kalimat yang dulu sering Andin dengar. Memang benar adanya, mulut memang bisa saja berbohong, tapi tidak dengan tatapan yang tersirat, ya rindu. Rindu yang selalu menghampirinya, setiap malam ketika ia ingin terpejam.

Seperti malam ini, air mata Andin kembali menetes. Tatkala melihat foto itu. Ya, foto Arkan yang ada di gallery HP nya. Senyum yang selalu menjadi candu bagi Andin. Dan hujan saat ini seakan mendukung suasana hatinya. Ingin sekali ia menghubungi Arkan, ingin mengetahui bagaimana kabar lelaki itu, bagaimana keadaannya saat ini, termasuk apakah Arkan juga merindukannya?

Namun, Andin tidak mampu, bukan gengsi. Melainkan sadar. Jika ia melakukannya, maka akan ada resiko untuknya kembali sakit, lebih dalam lagi. Tak ada cara yang mampu Andin lakukan selain menunggu. Bukankah jika ia sabar, nanti pada akhirnya akan berakhir bahagia?

Hanya ini yang bisa Andin lakukan untuk menenangkan hatinya, setidaknya untuk meredam ketika rindu itu kembali datang. Semua kenyataan telah Andin ketahui sebelumnya, kenyataan yang membuat Andin tidak mampu untuk percaya, bagaimana dan mengapa itu semua terjadi. Ya, Arkan, lelaki yang dulu sangat ia percayai, kini untuk kesekian kali membuat dirinya kecewa. Arkan, dengan kekasih barunya.

Tentu, Andin tidak memiliki hak untuk marah terlebih kecewa. Hanya saja ia terlalu bodoh karena telah mempercayai semua kata yang diucapkan Arkan, 'untuk saat ini aku tidak ingin memiliki kekasih, yang membuatku jauh dari keluarga dan teman-temanku,'

Dan dengan mudahnya Andin percaya perihal semua kata-kata yang diucapkan Arkan, dan apa akhirnya? Kembali, Andin kecewa untuk kesekian kalinya.

­--

"Kamu boleh hujat aku, tapi aku gak bisa bohong, Put," lirih Andin saat bercerita semuanya kepada sahabatnya, Putu. Putu paham apa yang dialami Andin, sedikit banyaknya ia mengerti, kalau Andin nampak kuat dari luar namun tidak sebenarnya.

"Seperti yang kamu bilang, Ndin. Rindu itu wajar," Andin masih belum mampu untuk menegakkan kepalanya, "semua akan baik-baik saja, kan? Ini cuma sementara, aku pasti bisa bangkit. Aku gak mau se-drop dan se-mengenaskan seperti dulu," ujar Andin yang membuat Putu menarik sahabatnya, memeluk, setidaknya tempat untuk Andin bersandar.

"Ya, semua akan baik-baik saja, percaya. Kita sudah baik-baik saja, Ndin," kata yang selalu Putu ucapkan ketika Andin merasa terpuruk seperti ini, untuk yang kesekian kalinya.

--

"Ndin, aku pulang dulu, ya? Mau nganter Mama ke pasar," Andin dengan mata sembabnya hanya bisa mengangguk, "pamit sama Papa sama Abang-abang dulu, ya?" tawar Andin seraya mengajak Arkan untuk bertemu dengan Papa dan Abang-abang Andin. "Pa, Bang, Arkan mau balik dulu, nih," ucap Andin.

"Gak makan dulu? Bentar lagi buka puasa," tawarAdi--Papa Andin. "Makasi, Om. Mama udah nungguin di rumah, mau pergi ke pasar," ijin Arkan pada Adi. Adi yang mendengar itu, hanya bisa mengulas senyum manis. "Ya udah, hati-hati, ya, Nak." Arkan pamit setelahnya dengan diantar Andin hingga ujung gang.

"Siapa itu, Ndin?" tanya Putra, Abang kedua Andin. "Teman dekat, Bang," Putra paham maksud Andin. Sebenarnya Putra tahu, siapa Arkan. Karena dulu, beberapa bulan yang lalu, ia sempat membicarakan itu dengan Mamanya. Membahas tentang Andin yang ingin mengajak Arkan ke rumah dan mengenalkannya dengan Adik serta kedua orang tuanya. Namun kembali, Kiana—Mama Andin, tidak menyetujui itu. Karena tentu firasat orang tua tidak pernah meleset, termasuk tentang Arkan. Kiana merasa saat ini belumlah waktu yang tepat untuk Andin membawa Arkan ke rumah. Masih terlalu kecil.

[3] IF I CAN [Completed]Where stories live. Discover now