IF I CAN - 19

265 13 0
                                    

"Berawal dari satu kebohongan, mampu merusak semuanya. Dan, kamu sudah melakukan itu."

--

Author POV

Andin terkejut melihat Arkan yang kini berdiri tepat di hadapannya. Tatapan Arkan melirik seseorang yang duduk di belakang Andin. Setelahnya, Arkan pergi meninggalkan cafe tanpa mengucapkan satu katapun terhadap Andin.

Andin berlari untuk mengejar Arkan, menarik tangan lelaki itu agar berhenti. "Dengerin aku dulu," pinta Andin.

"Apalagi? Kamu bohongin aku? Jadi ini alasan kamu diemin aku dari tadi pagi?" Rentetan pertanyaan itu mampu membungkam Andin. "Bukan gitu," lirih Andin.

Arkan menarik tangannya, "kasih aku waktu," Arkan berlalu meninggalkan Andin yang kini menatap punggung Arkan yang semakin lama jauh dari pandangannya.

Andin meremas tali tas yang menyampir di tangannya. Air mata itu luruh tanpa permisi, ia bingung dengan dirinya sendiri. Semua terjadi tanpa terencana, kejadian hari ini sangat membuat dirinya bingung.

"Saya antar pulang, ya?" tawar Idan tepat di samping Andin. Andin menggeleng, lalu pergi meninggalkan Idan.

--

"Habis darimana, Ndin? Papa hubungi daritadi tapi kamu gak angkat," tanya Adi saat Andin melewati ruang tamu.

"Maaf, Pa. Tadi hpnya aku silent," Andin menghampiri Adi, mencium tangan serta duduk di sebelah Adi. "Papa udah makan?" Tanya Andin.

"Sudah tadi, dibawain sate kambing sama gulai sama Rifki. Itu juga dibawain jajan tadi sama mbakmu, Riri," Riri--Kakak iparnya, istri dari Bang Putra. Ya, Bang Putra baru nikah 1 tahun yang lalu.

"Papa jangan terlalu banyak makan sate sama gulai, ya? Obatnya udah diminum?" Adi hanya mengangguk, "kamu sendiri udah makan? Kenapa pulangnya jam segini?" Adi menatap Andin. Melihat raut yang tak biasanya.

"Daritadi Iza nyariin kamu, dia minta diajarin kamu," jelas Adi. "Yaudah aku samperin Iza dulu, ya Pa? Papa tidurnya jangan malem-malem. Love you, Pa," Andin mengelus lengan Adi, lalu beranjak menuju kamar Iza.

Andin mengetuk pintu kamar Iza, namun tak ada jawaban. Mungkin Adiknya itu sudah tidur. Perlahan Andin membuka pintu kamar Iza.

Dan, benar saja. Iza sudah terlelap di atas meja belajarnya.

Adiknya yang baru saja beranjak remaja itu nampak kelelahan belajar hingga tertidur di atas meja belajarnya. Perlahan Andin meraih tubuh Iza, memapah tubuh kecil itu menuju ranjang. Merebahkan badan itu perlahan, lalu menarik selimut hingga pundak Iza.

Andin duduk di samping ranjang, merapikan helaian rambut Iza yang nampak berantakan. "Maafin Kakak, ya?" Gumam Andin lalu mencium kening Iza.

Selanjutnya Andin keluar dan menuju kamarnya sendiri. Kamar Iza berada di lantai atas, tepat di sebelah kamarnya.

"Udah makan, Ndin?" Tanya Bang Rifki dari bawah tangga. "Udah, Bang. Aku ke kamar dulu, ya," lalu, Andin memasuki kamarnya sendiri.

Menaruh tas selempangnya di meja rias yang tak jauh dari ranjangnya.

Lalu, ia duduk di atas ranjang. Menundukkan kepalanya, kembali memikirkan semuanya.

Ada apa dengan dirinya, mengapa dirinya begitu labil hari ini. Sikap yang tanpa sadar membuat orang lain tersakiti termasuk dirinya sendiri.

Andin meraih ponselnya, mencari kontak Arkan di ponselnya. Mencoba menghubungi lelaki itu, namun panggilannya dialihkan oleh Arkan. Sudah dipastikan lelaki itu marah padanya.

[3] IF I CAN [Completed]Where stories live. Discover now