IF I CAN - 26

384 17 2
                                    

"Jika bersamaku, kamu masih merasa sakit. Apakah ada alasan lain untukku masih menahanmu di sini?"

--

Author POV

Jika berbincang mengenai perasaan Andin saat ini, tidak ada satu opini pun yang mengatakan bahwa Andin tidak sakit.

Untuk kesekian kalinya, Andin kembali merasa kecewa, terhadap rasa percaya dan orang yang ia percaya.

Namun, di balik itu semua. Tidak hanya Andin, ada Arkan. Orang yang bersama Andin selama ini, dan mungkin menjadi penyebab Andin kecewa saat ini.

Semua itu bukanlah suatu kebohongan, Arkan tidak menampik semuanya.
Anggap saja ia bodoh, begitu mudah baginya untuk merusak semua kepercayaan yang sangat sulit ia dapatkan dulu.

Arkan bahkan kecewa dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia mengikuti logika sedangkan di sisi lain ada hati yang sudah seharusnya ia jaga.

Semenjak kejadian itu, Arkan sempat dijauhi oleh sahabat-sahabatnya. Namun, tidak dengan wanita yang bernama Ayu itu.

"Maaf gara-gara aku, kamu berantem sama pacar kamu," sesal Ayu. Walau sebenarnya mereka berdua memang salah. Bermain di belakang Andin, dan tanpa rasa bersalah berbahagia di atas rasa sakit yang di rasakan Andin saat ini.

"Bukan salahmu, mungkin memang ini risikonya. Aku sudah berani bermain di belakang Andin," balas Arkan seperti tanpa rasa bersalah. Ayu mendekat ke arah Arkan. Meraih tangan lelaki itu.

Ayu tersenyum menatap Arkan, "kita makan yuk?"

Arkan mengangguk. Tanpa di sadari, sesungguhnya jauh di dalam hati Arkan, ia sangat-sangat menyesali tindakan bodohnya itu. Namun, lagi-lagi logikanya lebih bermain saat ini. Tanpa pernah sadar, penyesalan yang akan menantinya.

--

Arkan baru saja memasuki kelas. Setelah makan siang berdua bersama Ayu. Siang ini akan ada satu mata kuliah yang akan selesai sekitar pukul 16:30 nanti.

Arkan mendekat ke arah sahabat-sahabatnya yang tengah berbincang, bercanda seperti biasanya. Baru saja Arkan duduk di bangku kosong, tepatnya di sebelah Imam, perbincangan itu terhenti seketika. Semuanya menatap Arkan aneh.

"Kenapa?" Tanya Arkan tidak mengerti.

"Kamu waras?" Tanya Ferry, salah satu sahabat Arkan lainnya. "Maksudnya?"

"Gini Ar, lo seharusnya paham apa yang terjadi antara lo sama Andin. Lo gak liat usaha Andin kayak gimana? Oke, di sini gue jujur. Andin udah hubungin gue buat ngasi lo kejutan kemarin, Andin baru pulang kuliah dan dia langsung nyamperin lo," jelas Imam. Arkan mendengar semuanya.

"Tapi, gue gak nyangka semua malah rusak kayak gitu. Dan yang lebih gue gak nyangka, ternyata lo punya hubungan sama Ayu? Yang bahkan lo baru dekat sama dia cuma satu bulan, Ar," lanjut Imam.

"Cowok kalau ketutup napsu ya gitu," sarkas Pian.

Arkan masih diam, belum menanggapi perkataan sahabatnya itu. Arkan memiliki tiga sahabat yaitu Imam, Ferry dan Pian.

"Lo bakal nyesel, Ar. Gue jamin. Sudah seharusnya lo lepasin Andin sejak dulu, nyesel gue dukung lo balikan sama Andin," cerca Ferry.

"Gue bakal jelasin semuanya ke Andin, dan gak mungkin gue nyakitin Ayu," perkataan Arkan yang sudah siap dihujat oleh sahabatnya.

Imam berusaha menenangkan Ferry dan Pian yang sudah menggebrak meja dan ingin menghujat Arkan, "dan, bodohnya lo lebih mentingin perasaan Ayu dibanding cewek yang sudah lo kenal 4 tahun terakhir ini."

Setelahnya, mereka pergi meninggalkan Arkan. Membiarkan Arkan duduk sendiri, dan lebih memilih duduk di bangku yang lain. Mereka hanya ingin memberi Arkan waktu untuk berpikir. Kecewa tidak semudah itu sembuh hanya dengan penjelasan. Karena, sekalinya kecewa, terlalu sakit untuk kembali percaya.

--

Selepas perkuliahan selesai, Arkan pergi ke toko kue yang tak jauh dari kampusnya. Membeli satu kotak cake tiramisu.

Setibanya ia di rumah, "assalamualaikum," salam Arkan. Dan, menghampiri Mamanya yang tengah masak di dapur. "Tiramisunya, Arkan masukin ke kulkas ya, Ma."

"Iya, Ar," balas Bunga, Mama Arkan.

Setelahnya Arkan menuju kamarnya, "jangan lupa lho, sore ini kita ada acara di rumah Tantemu," ujar Bunga. "Iya, Ma."

Arkan menutup pintu kamarnya, meletakkan tasnya di atas meja belajar yang tak jauh dari pintu kamar. Lalu, berlaih menuju ranjang yang masih rapi.

Merebahkan tubuhnya sebentar. Arkan mengambil ponsel yang ada di saku celananya, membuka galeri hpnya.

Tak banyak foto Andin di hpnya, namun ada salah satu foto yang membuatnya teringat. Foto sunset, dengan bayangan wajah Andin yang tengah tersenyum.

Arkan memutar kembali memori itu, waktu di mana ia berusaha menyakinkan Andin. Mengajak wanita itu mendaki bukit di sore hari, dan berakhir menikmati senja berdua.

Di slide berikutnya, ada foto Andin yang tengah duduk saat berada di puncak bukit. Tanpa sadar, Arkan tersenyum. Mengingat kembali memori itu, seharusnya ia tidak bertindak bodoh kemarin. Bagaimana bisa?

Arkan sudah memutuskan, ia akan memperbaiki semuanya.

Arkan meraih kunci motornya, memakai jaket serta helm lalu berlalu meninggalkan kamarnya. "Eh, mau ke mana, Ar?" Tanya Bunga saat melihat Arkan yang hendak pergi.

"Aku ada urusan penting, Ma," sahut Arkan berpamitan pada Bunga. "Terus kamu gak ikut?"

"Titip salam ya, Ma. Assalamualaikum," pamit Arkan. "Waalaikumussalam, hati-hati." Bunga berusaha memahami, walau sudah sering Arkan tidak mengikuti acara kumpul keluarga.

Arkan melajukan motornya sedikit cepat, berharap jarak yang ia tempuh dapat lebih dekat.

25 menit berlalu, Arkan sudah ada di depan rumah Andin. Rumah dengan bangunan yang tidak terlalu besar, namun sangat nyaman rupanya.

Suasana rumah tersebut nampak sepi, dengan lampu yang sudah menyala. "Assalamualaikum," Arkan bersuara, berharap ada yang keluar. Walaupun pintu gerbang masih tergembok, dan yang Arkan tahu saat ini Andin pasti sudah ada di rumah.

"Assalamualaikum," sekali lagi Arkan bersuara, namun sia-sia. Sebab 10 menit ia menunggu tidak ada satu pun orang yang keluar dari dalam rumah.

Arkan menghembuskan napasnya kasar, mengambil ponselnya.

Kamu di mana? Belum pulang kuliah? Aku di depan rumah kamu, aku mau jelasin semuanya.

Pesan singkat yang Arkan kirim pada Andin. Sekali lagi Arkan menatap rumah itu, sebelum berlalu meninggalkan rumah Andin.

Dan, tanpa disadari, gorden di salah satu kaca terbuka. Ada seseorang yang tengah mengintip di sana. Dengan gementar yang tengah menggenggam ponsel di tangannya. Ya, dia adalah Andin.

Andin membaca pesan itu, pesan yang membuatnya kembali menangis saat ini juga. Pesan singkat yang ia nanti sejak kemarin. Mengapa baru sekarang Arkan ingin menjelaskan semuanya? Di saat dirinya sudah berusaha untuk baik-baik saja?

Andin menutup gorden itu, tak lama berselang rintik hujan mulai terdengar. Hujan yang dulu ia sukai, hujan yang dulu menjadi saksi di mana janji mereka berdua 'I'm Yours, and You're Mine, always.'

Andin memejamkan matanya, menikmati setiap denyut sakit yang meradang dalam hatinya, menikmati setiap tetes air yang jatuh dari matanya.

"Andai kamu datang lebih cepat, Ar." Gumam Andin lirih.

--

To be continue. . .

Sweet,
Dyariss

Terimakasih sudah membaca
Follow : @dyarisstory // @ginaedyaa

[3] IF I CAN [Completed]Where stories live. Discover now