IF I CAN - 30

468 15 0
                                    

"Masih pantaskah aku kecewa, sedangkan aku sendiri tidak tahu makna 'kita' bagimu itu seperti apa."

--

Author POV

Sudah memasuki minggu ke dua Andin berada di desa. Dugaannya ternyata salah, setiap ada kegiatan dirinya terus saja harus dikaitkan dengan kampus Arkan. Hal yang sudah diwanti-wanti Andin sejak awal. Terhitung seminggu ini, Andin berinteraksi bersama Arkan sebanyak 3 kali. Dan, itu bukanlah hal yang baik untuk dirinya.

Sedangkan, dirinya dan Ari juga tidak berhubungan begitu intens. Dikarenakan, sinyal yang begitu sulit ia temukan seminggu terakhir ini. Apabila Ari mengirimkan pesan pada pagi hari, maka balasan Andin akan terkirim satu atau dua jam setelahnya.

Namun, beberapa hari yang lalu Ari sempat mendatanginya. 'Khawatir' alasan yang membawa Ari untuk datang berkunjung ke posko Andin.

Saat itu juga Andin menceritakan semuanya pada Ari. Mengenai Arkan juga KKN di tempatnya, lalu tentang dirinya yang sempat diantar pulang ke posko sama Arkan. Walaupun itu sedikit mengusik Ari, Andin tetap ingin cerita. Dengan harapan tidak ada lagi yang harus ia tutup-tutupi.

Pagi ini, Andin serta teman kelompoknya akan bergabung dengan Ibu-Ibu Kader dan PKK untuk membuat olahan pangan yang berbasis bahan lokal di desa ini.

Hal ini sudah di berbincangkan semalam sebelum pertemuan, mengenai bahan pangan apa saja yang ada di desa ini. Bahan pangan yang akan dimanfaatkan menjadi suatu olahan yang akan bernilai jual.

Ada beberapa bahan pangan yang begitu melimpah di sini, seperti umbi-umbian terutama singkong. Lalu, buah pisang serta ikan tongkol.

Banyak olahan yang ingin kita buat untuk beberapa hari ke depan, mulai nugget singkong, keripik pisang manis, pisang sale, serta abon ikan tongkol.

Antusiasme Ibu-Ibu juga membakar semangat kami untuk terus bisa berkreasi memanfaatkan bahan pangan lokal untuk dijadikan sesuatu yang bernilai jual tinggi.

--

Andin baru saja masuk ke dalam posko, setelah dirinya serta teman-temannya selesai membuat sebuah produk berbasis pangan lokal bersama beberapa warga serta Ibu-Ibu kader.

Andin memilih memisahkan baju kotor untuk dimasukkan ke dalam tempat yang terpisah yang akan dicuci besok pagi.

"Ndin," panggil Ziah dari depan pintu kamar. Andin menoleh, dengan tangan yang masih memegang baju kotor. "Kenapa, Zi?" Tanya Andin.

"Ada yang nyariin," ujar Ziah. Andin mengerutkan dahinya, sore hampir berakhir di mana senja sebentar lagi akan pergi. Lalu, siapa yang mencarinya?

Tidak mungkin keluarganya, sebab baru kemarin lusa mereka mengunjungi Andin. Lalu, apakah Ari? Tidak mungkin juga Ari mendadak kemari tanpa memberi kabar padanya.

"Oke Zi, makasi ya," balas Andin, lalu meletakkan baju kotor tersebut dan beranjak untuk melihat siapa yang mencarinya.

Andin melihat seseorang tengah berdiri di dekat pintu keluar dari tempat dirinya menginap. "Ehem," deheman Andin mampu membuat seseorang tersebut menoleh.

Orang tersebut tersenyum. Senyum yang memuakkan bagi Andin. Orang tersebut adalah Arkan.

"Ada apa?" Andin tidak ingin berbasa-basi. "Juteknya gak hilang, ya?" Kekeh Arkan. Sesuatu hal yang tidak lucu, terasa garing baginya.

"Karena, tidak ada waktu lagi untuk manis-manis picisan," sarkas Andin memandang Arkan dengan senyum sinis. "Ada apa, Ar? Apa kamu gak punya kegiatan hingga kamu ke sini?" Sambung Andin.

Tidak ada yang berusaha mendekat, mereka berdua berbicara dengan jarak yang memisahkan mereka. Sama halnya seperti kisah mereka. Sangat jauh.

Andin berada di ujung pintu ruang tamu, sedangkan Arkan berada di pintu gerbang. Walau tidak terlalu jauh, namun jarak tersebut mampu memisahkan mereka.

"Aku cuma mau ngasi ini," ucap Arkan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Mengeluarkan kantong plastik yang Andin tidak tahu isinya apa. "Aku tahu kamu belakangan ini dan untuk ke depannya bakalan banyak kegiatan yang bakal menguras tenaga serta pikiran kamu. Jadi, aku gak mau kalau kamu sampai drop untuk yang ke sekian kalinya,"

Arkan mendekat ke arah Andin, meletakkan kantong plastik itu di atas meja yang ada di dekat pintu ruang tamu. Arkan tersenyum pada Andin, "jangan lupa diminum, ya? Jaga diri baik-baik, jangan sampai sakit, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat hubungi aku," senyum itu masih belum lepas. Masih saja terpasang di wajah tampan Arkan, namun nampak memuakkan bagi Andin.

"Ada kepentingan apa aku harus hubungi kamu?" Masih dengan nada sinis, Andin membalas ucapan Arkan.

Arkan masih saja tersenyum, "karena, aku tahu sejauh apapun jarak kita, sejauh apapun langkah itu, kamu akan kembali lagi, kamu akan pulang."

Andin tertawa lirih, menatap Arkan yang begitu yakin menatapnya kini. "Itu dulu, saat rumahku masih kamu. Tapi tidak lagi sekarang, aku harap kamu mengerti apa maksud dari ucapanku. Karena cukup aku merasa kecewa untuk ke sekian kalinya," Andin juga menatap Arkan yakin. Tatapan Arkan perlahan melemah, nampak ada kecewaan dari tatapan tersebut.

"Jaga diri baik-baik ya, Ndin?" Setelah itu Arkan berbalik untuk pergi dari posko Andin. Dan, saat itu pula air mata Andin dengan berani jatuh lagi. Air mata yang berusaha sejak tadi ia tahan. Air mata yang ingin jatuh sejak melihat tatapan itu, tatapan teduh yang menjadi candunya dulu.

Senja menjadi saksi, bahwasanya ego masih berkuasa dibalik perasaan yang lemah ingin kembali namun tidak bisa untuk kembali. Terlalu lelah rasanya.

--

Andin menatap kantong plastik yang ada di atas tasnya. Kantong plastik yang tadi dibawa oleh Arkan. Andin sendiri belum mengetahui isinya apa.

Setelah kepergian Arkan tadi, Andin lebih memilih langsung membersihkan diri, menetralkan pikiran serta hatinya. Lalu, meminta kepada sang pemilik rasa untuk bisa menenangkan semuanya. Berharap ini tidaklah mengecewakannya lagi.

Andin meraih kantong plastik itu, lalu membukannya perlahan. Berisikan satu kotak madu sachet, satu kotak vitamin C, dan satu botol tanggung minyak kayu putih.

Hal sederhana yang tak pernah lupa ia bawa, dan itu masih diingat oleh Arkan. Ada secarik kertas di atas kemasan kotak madu tersebut.

'Jaga diri baik-baik, ya? Aku masih di sini, masih nunggu kamu pulang. I'm yours and you're mine.'

Andin meremas secarik kertas tersebut, berusaha meredam emosi yang ada di dalam hatinya. Emosi yang sejak tadi seharusnya ia luapkan, agar lelaki tersebut paham.

Siapa yang menyakiti di sini? Dan siapa yang tersakiti di sini?

Karena di sini seolah-olah Andin yang menjadi pemeran utama dalam permainan rasa ini. Andinlah yang menjadi peran antagonis.

Andin membawa kantong plastik itu keluar kamar, memberikan kantong itu pada teman-temannya yang sedang mengerjakan laporan hariannya. "Minum ini, biar kalian gak sakit," ujar Andin. Selanjutnya ia kembali masuk ke dalam kamar, ada misi yang harus diselesaikan saat ini juga. Dirinya sudah sangat-sangat muak.

Andin merogoh ponselnya, mencari kontak yang sudah seharusnya ia hapus sejak dulu.

Andin menarik napasnya sejenak, meredam kembali amarah yang sudah ada diujung kepalanya. Sudah siap-siap untuk meledak.

'Seharusnya kamu paham, jika kamu sudah berani untuk berkhianat maka tidak lagi ada jalan untuk kita kembali. Dan, satu hal yang harus kamu pahami, rumahku bukan lagi kamu semenjak pengkhianatan itu terjadi.'

Itulah pesan yang Andin kirim pada Arkan. Sudah seharusnya begini, Andin tidak ingin jatuh untuk ke sekian kalinya di lubang yang sama. Cukup untuk yang terakhir kalinya.

--

To be continue. . .

Sweet,
Dyariss

Terimakasih sudah membaca
Follow : @dyarisstory // @ginaedyaa

[3] IF I CAN [Completed]Where stories live. Discover now