Distance

337 44 15
                                    

Antara Jakarta dan Jogjakarta










Dia selalu menunggu saat di mana ponselnya berdering dengan nada suara yang unik. Membuatnya bergegas bangun dari posisi tidur santainya. Dengan senyum yang otomatis terpatri lebar, kedua mata yang batal mengantuk serta bahasa tubuh yang bersemangat, Koeun akan mengambil ponselnya. Ia melirik sekilas ke arah jam weker yang berdiri di meja belajarnya.

Pukul sebelas malam, waktu Jogjakarta. Seperti kebiasaannya. Menelpon lewat jam sepuluh malam.

"Hai." Berkali Koeun berusaha menyembunyikan wajah merona dan bersemangatnya. Tapi semua menjadi sia-sia ketika wajah laki-laki itu muncul di layar ponselnya. Tersenyum manis, seperti yang selalu ia ingat dalam memorinya.

 Tersenyum manis, seperti yang selalu ia ingat dalam memorinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hai juga," balas laki-laki di seberang sana. Tertawa geli sekaligus bersalah karena tahu jika Koeun sebenarnya sudah bersiap mengarungi alam mimpinya malam ini. "Udah mau tidur ya?"

"Ya gitu deh."

"Really? Aku kira kamu sengaja nunggu video call dari aku dulu biar bisa tidur."

"Ish, ge-er banget."

Padahal kenyataannya, iya. Koeun hanya tak mau mengakui itu semua. Terlalu gengsi.

"Bukan ge-er, itu kenyataan. Aku tau kamu nggak bakal bisa tidur kalo nggak denger suara aku, 'kan?"

Perempuan itu mendengus. Memasang wajah pura-pura malas. "Aku tutup aja deh telponnya. Kamu nyebelin."

"Eh, eh, aku bercanda, sayang. Kamu nih sensi banget." Ada satu kesenangan dalam diri Koeun ketika laki-laki pada panggilan itu memanggilnya sayang. Terdengar cheesy dan cringe di awal. Tapi percayalah, hatinya menginginkan itu semua. "Anyway, how's your day? Capek kuliahnya?"

"Kadang capek sih, Mark. Tapi mau gimana lagi? Aku harus ngejalanin ini semua, 'kan?" Laki-laki yang ia panggil Mark itu tertawa kecil sambil sedikit membetulkan letak kacamata bulatnya.

"Sedikit lagi, kok. Abis itu kita bisa balik bareng lagi."

Mendengar suara Mark di malam sebelum tidurnya, entah mengapa menjadi sebuah candu bagi Koeun. Kadang ia akan tertidur di sela-sela video call mereka. Saat ia menemani Mark dengan pengerjaan maket-maketnya, atau kebalikannya. Mark yang lebih dulu jatuh tertidur karena menunggu Koeun selesai dengan laporan pratikumnya.

Perempuan itu tersenyum kecil. Kedua matanya yang semula mengantuk menatap layar ponsel. Kepalanya ia rebahkan dengan nyaman di atas bantal. "Lagi di mana? Temboknya nggak keliatan kayak kamar kos kamu."

Berlebihan mungkin jika orang tahu. Koeun, meskipun sangat jarang memiliki kesempatan mengunjungi kekasihnya di Jakarta, tahu dan ingat bagaimana ruang kamar kos yang ditempati Mark selama menempuh studinya sebagai mahasiswa arsitektur. Dan terbentangnya jarak serta waktu diantara mereka secara perlahan membangun rasa was-was dalam diri Koeun. Membuat perempuan itu lebih waspada terhadap segala pergerakan laki-lakinya.

WHAT IF? (mark + koeun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang