Rumit

229 33 21
                                    

Cinta itu sederhana, yang rumit itu kamu

Keberadaan gadis itu jadi satu-satunya objek paling jelas sepanjang netra Mark memandang. Meski sekitarnya nampak semarak dengan anak-anak lain yang entah sibuk dengan aktifitasnya, laki-laki itu tak mengindahkan. Baginya, gadis yang mencuri hatinya sejak kecil itu adalah satu-satunya hal penting dalam setiap pemandangan indahnya.

Mark berdiri di sana, di lorong depan kelasnya sambil menatap ke arah taman sekolah. Di mana Koeun sedang duduk dikelilingi oleh beberapa adik kelas mereka.

Memang, setiap hari Jumat sepulang sekolah kegiatannya selalu di sana. Menjadi mentor untuk anak-anak baru yang tergabung dalam klub jurnalistik sekolah. Dan Mark hapal dengan semua kegiatan Koeun hampir setiap harinya.

Jadi, laki-laki itu memilih untuk berdiri di lorong kelas sambil menggendong tas punggung hitamnya. Menunggu Koeun selesai dengan seluruh kegiatan klubnya hari ini.

"Mark ...." Panggilan seseorang membuatnya mengalihkan pandang dari arah gadis pujaannya itu. Menemukan Jaemin, salah satu adik kelasnya tengah berjalan ke arahnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Tidak pulang? Apa ada kegiatan klub mendadak hari ini?"

Sebagai kapten tim basket sekolah, membuat Mark sekaligus dipilih sebagai ketua klub basket sekolah. Jaemin adalah salah satu anggotanya, juga seseorang yang digadang-gadang akan menggantikan posisi laki-laki itu saat lengser nanti. "Tidak ada kegiatan apapun hari ini, Jaem."

"Lalu?" Tak butuh waktu lama bagi Jaemin untuk menyadari jika di taman sekolah tepat dihadapan mereka, ada seseorang yang mampu menjadi penyemangat Mark dikala sedihnya. Tunggu, bukan hanya dikala sedih, tapi menjadi semangat hampir tiap waktu. "Ohhh ... Koeun, ya?"

Mark hanya tertawa kecil lalu menepuk pundak adik kelasnya pelan. Membenarkan tanpa mengatakan apapun. "Kau sendiri kenapa masih ada di sekolah? Tidak pulang?"

"Baru selesai membereskan perpustakaan," desahnya malas.

"Perpustakaan? Kena hukum lagi?"

"Ya ... seperti yang kau lihat." Tawa tengil Jaemin justru muncul ketika Mark tepat menebak alasan kenapa dia lagi-lagi harus terjebak lagi di perpustakaan dengan segunung buku-buku berdebu yang harus ia susun sesuai abjad serta jenis bukunya.

"Kapan kau akan berhenti membuat ulah?"

"Hanya terlambat sepuluh menit. Memang si ketua dewan disiplin kita itu saja yang berlebihan."

"Bukan berlebihan, Jaem." Mark justru tertawa kecil. Mengingat dulu ia pernah ada di posisi Jaemin. Selalu terlambat dan kena hukum demisioner ibu ketua dewan disiplin meskipun di luar itu semua, mereka bersahabat sejak kecil. "Memang peraturannya begitu. Meski semenit, itu tetap saja terlambat. Hina hanya melakukan tugasnya, sama seperti Koeun dulu."

"Kau bisa mengatakan itu karena dulu Koeun yang menghukummu dan kau tak pernah keberatan dengan itu, 'kan?"

"Siapa bilang begitu?"

"Aku, baru saja!"

"Memangnya kau mau protes pada Hina? Bukannya kau juga senang dihukum oleh gadis keturunan Jepang itu?"

"Sembarangan!" Lagi, Mark tertawa saat melihat semburat merah tipis muncul di pipi Jaemin. Bersemu malu-malu karena laki-laki itu nyatanya menaruh satu harapan kecil untuk ibu ketua dewan disiplin angkatannya. "Aku bukan dirimu."

"Baiklah, baiklah aku percaya." Awalnya Mark pikir suara obrolan dan tawa mereka tidak begitu berisik untuk dapat mengganggu konsentrasi Koeun dan anak-anak jurnalistik lain. Tapi nyatanya, sekarang semua mata yang duduk di taman sekolah itu menoleh dan menatap kedua laki-laki itu heran.

Jaemin dan Mark yang menyadari sudah berbuat gaduh hanya bisa tersenyum canggung sambil menganggukkan kepala ke arah mereka.

"Mark, sepertinya aku harus pergi. Sampai jumpa nanti, ya." Dengan begitu, Jaemin pergi melesat. Meninggalkan Mark yang merutuki perbuatan juniornya itu. Meninggalkannya dengan perasaan tak enak karena sudah mengganggu diskusi anak-anak klub jurnalustik.

"Maaf." Laki-laki itu berucap tanpa bersuara ke arah Koeun yang hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Tak heran melihat kelakuan sahabatnya yang kadang heboh tak tahu tempat dan situasi.

Mark pikir Koeun akan marah. Jadi ia bersiap ketika melihat gadis itu bangkit dari posisi duduknya. Ia bahkan sudah menundukkan kepalanya.

Tetapi, tebakannya salah.

Koeun berdiri bukan untuk menghampirinya sambil marah-marah. Tetapi memang kegiatan klub jurnalistik sudah selesai. Jadi, gadis itu bangkit dan menghampirinya. Menepuk pundak Mark pelan sambil membalas pamitan anak-anak klub lainnya. "Sudah lama menunggu?"

Mark mendongak, melihat ke arah wajah cantik gadis itu. Ikut tersenyum lega saat melihat wajah geli Koeun. "Tidak juga. Pulang sekarang?"

"Ayo."

Koeun lantas menerima uluran tangan Mark. Menggenggamnya dan berjalan bersama ke tempat laki-laki itu memarkirkan sepedanya.

***

"Ada apa? Kenapa kau terlihat senang?"

Sudah menjadi sebuah rutinitas mereka setiap pulang sekolah untuk pergi mengunjungi kakek penjual es krim di taman dekat rumah. Membeli es krim kesukaan mereka sambil duduk di bangku taman. Bercerita tentang apapun yang sudah mereka lewati seharian ini.

"Menurutmu aku terlihat senang, Mark?" Tak bisa dipungkiri, sejak awal Koeun memang tersenyum sepanjang hari. Kadang membuat Mark bingung apa yang terjadi pada gadis itu seharian ini?

"Jika tersenyum sepanjang hari bukan tanda kau sedang bahagia, aku tidak tahu apa yang sedang kau rasakan saat ini."

Koeun tertawa. Bukan hanya karena perkataan Mark yang entah mengapa menggelitik untuknya. Padahal kalimat itu bahkan tak ada lucunya sama sekali. Juga karena laki-laki di sebelahnya itu masih sama saja seperti mereka kecil dulu. Makan es krim dengan belepotan di sekitar bibirnya.

Gadis itu mengambil sapu tangan bersih miliknya dan membersihkan sisa es krim di bibir Mark. "Bisa tidak kau makan es krim dengan benar? Bahkan sudah sebesar ini kau masih saja seperti anak kecil."

Sayangnya, Koeun tak tahu jika Mark melakukan itu dengan sengaja. Ia masih mengharapkan perhatian-perhatian kecil gadis itu. Perhatian yang menurutnya sangat manis.

"Ya, kau tau kebiasaanku ini," ucapnya sambil tersenyum kecil. "Jadi, apa yang sudah aku lewatkan seharian ini dan membuatmu bahagia?"

Senyum Koeun makin lebar. Matanya menerawang seolah mengingat kejadian beberapa jam lalu. "Aku dan Dery sudah resmi berkencan, Mark."

Dan detik itu Mark tahu, tidak selamanya yang membuat Koeun bahagia juga bisa membuatnya bahagia.

Mencintaimu itu mudah

Yang sulit adalah

Membuatmu juga mencintaiku

"Selamat ya, Eun. Aku turut senang mendengarnya."

"Terima kasih, Mark. Kau juga harus bahagia ya dengan gadis yang kau sukai itu."

Lantas, satu senyum pedih muncul di bibir laki-laki itu. Es krim choco chips yang biasanya manis kini terasa pahit dan Mark tidak ingin menelannya lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WHAT IF? (mark + koeun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang