Happy

196 33 25
                                    

Ini tentang dia, yang telah lama ku kenal. Tentang kisah kami yang meskipun akhirnya aku ketahui, tapi rasanya masih enggan ku terima. Tentang bagaimana manisnya pertemuan dan pahitnya perpisahan.

Aku dan dia yang tak lagi berjalan di jalan setapak yang sama.

Masih segar diingatanku ketika kami bertemu. Musim gugur keduaku di Toronto, tahun 2017 ketika terpaksa harus mengikuti ibu yang pindah bersama suami barunya.

Saat itu, aku membenci orang-orang. Menjengkelkan tiap kali melihat wajah mereka yang bagiku menyimpan banyak kemunafikan. Mereka semua serigala berbulu domba. Terutama ibu, yang dengan egoisnya melupakan jika ayahku pernah hidup dan mengisi kekosongan harinya terdahulu. Dengan wajah bahagia dan memuakkan bilang padaku bahwa dia telah mendaftarkan pernikahannya dengan laki-laki asing tanpa pernah meminta izinku. Bahkan ibu lantas memaksaku ikut terbang ke negara asing ini disaat aku sendiri memintanya untuk meninggalkanku dan melupakan bahwa aku pernah menjadi anaknya.

Aku muak dengan semua orang. Aku benci harus bertemu dengan manusia yang dimataku sama-sama keparatnya.

Aku benci ayah karena dia meninggalkanku.

Aku benci ibu karena dia egois.

Aku benci suami baru ibuku karena dia adalah pencuri.

Aku benci teman-teman sekolahku yang selalu menjauh ketika aku mencoba mencari pertolongan.

Manusia itu brengsek. Dan aku tak bercanda dengan apa yang ku katakan saat ini.

Tapi itu tak bertahan lama ketika aku bertemu denganmu. Tiba-tiba mendekat saat aku terduduk sambil menyembunyikan wajah sembabku di balik kedua lutut yang tertekuk. Menawarkan saputangan biru langit dengan bordiran namamu di ujungnya.

"Kau mau saputangan?" Ketika aku mendongak, aku masih tak percaya bisa menemukan seseorang yang nampak begitu peduli dengan gadis lusuh berwajah kusam penuh air mata dan menggunakan pakaian tipis yang tak mungkin menghalangi dinginnya hembusan angin petang itu. "Hapus air matamu, ia terlalu berharga untuk kau buang sia-sia."

Aku tak pernah mau jatuh pada tipu muslihat manusia untuk kesekian kalinya. Aku berusaha keras untuk membangun benteng pertahananku lagi. Memaksamu untuk tak mendekat dan menjauh dariku, si gadis yang selalu memandang dunia dengan skeptis.

"Tak perlu. Simpan saja saputangan bersihmu itu untuk kau gunakan sendiri saat menghapus air matamu." Aku mungkin terlihat bodoh karena menolak uluran yang kau tawarkan. Tapi cobalah hidup dalam dunia penuh kemunafikan dan rasakan bagaimana mereka mengubahmu. "Aku masih punya kedua tanganku untuk menghapus milikku."

Lalu dengan kasar kuusap wajahku. Berusaha untuk tetap menahan tangis yang seolah tak berhenti jatuh. Hingga kemudian, kurasakan tangan terulur yang menahan jari-jari kotorku. Mengganti dengan miliknya dan kemudian menghapus titik-titik air mata itu perlahan.

"Jangan perlakukan dirimu dengan kasar. Hargai juga setiap jengkal tubuhmu. Jika bukan kau, siapa yang akan menghargainya?"

Aku tak mengerti dengan diriku. Aku bahkan sempat berkata untuk tak terjerat dan terjatuh lagi pada kebaikan palsu manusia. Tapi detik itu juga, air mataku menderas. Menganak sungai dan mengalir di pipiku.

Aku memang mahluk bodoh. Karena aku dengan mudahnya jatuh pada kebaikan yang kau tawarkan.

"Terima kasih."

"Tak perlu berterima kasih padaku. Sudah seharusnya kita bertemu dengan keadaan seperti ini." Kau tetap mengangsurkan saputangan itu yang kemudian ku terima dengan senyum lugu. "Namaku Mark Lee, kau siapa?"

"Koeun."

Dan itu yang kuingat tentang pertemuan pertama kita dibawah pohon maple yang daun-daunnya mulai berubah warna dan meranggas.

WHAT IF? (mark + koeun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang