New York

334 47 7
                                    

In New York, they met

All hail untuk New York dengan segala gemerlap yang ia miliki. Tapi Mark tetap pada pendiriannya. Menganggap jika kota tak pernah mati itu sama membosankannya ketika mengikuti perkuliahan Professor Gerald. Salah satu lecturer-nya dalam mata kuliah filsafat.

Baginya, New York sama saja seperti kota dingin yang memberikannya punggung setiap laki-laki itu ingin menyapa. Tak ada yang menurutnya benar-benar ramah dan menarik meskipun Vernon berulang-kali menyeretnya keluar dari dormitory hanya untuk menikmati masa mudanya.

Mark tinggal di Manhattan, begitupun Vernon. Mereka sengaja mencari tempat tinggal yang dekat dengan universitas. Tapi meskipun mereka bisa dikatakan bertetangga, kehidupan dua orang itu jelas bertolak belakang. Vernon dengan segala gemerlap dunia masa mudanya dan Mark yang kata anak-anak lain, si nerd.

Laki-laki itu tak suka berpesta. Tak juga hobi pergi keluar kamarnya selain ke kampus. Setiap waktunya hanya digunakan untuk bolak-balik dorm dan kampus. Semembosankan itu memang. Maka tak heran jika Mark selalu mengatakan bahwa New York membosankan. Tak seperti iklan-iklan yang orang-orang gemborkan di luar sana.

"Bodoh, kau sendiri yang membuat New York terasa membosankan." Vernon baru saja menginvasi kamar Mark. Kebiasaan sahabatnya itu tiap kali butuh cemilan tetapi sedang dalam masa penghematan. Lucunya, Mark selalu sedia banyak cemilan di kamarnya. Dan Vernon menyukai fakta tersebut. Ia mengunyah fruit loops dengan santai tanpa menuang susu terlebih dahulu dalam sereal itu. "Keluarlah dari kamarmu ini dan cari tahu dimana letak menyenangkannya kota ini!"

"Malas."

Nah kan? Dia yang selalu bilang tempat ini membosankan, tapi dia juga yang tak mau berusaha mencari letak serunya. Vernon berkali-kali memutar bola matanya sebal. Dia juga sudah cukup jenuh meminta agar Mark bergabung dengannya sekedar  untuk berjalan-jalan di malam hari mencari street food ataupun pergi ke Town Square sambil menikmati street performance disepanjang jalan.

Vernon melempar satu buah fruit loops dan tepat mengenai kening Mark. Membuatnya terkekeh kecil karena sahabatnya itu kemudian meringis sambil menatapnya dengan tatapan kesal. "Kau mau begini terus sampai nanti tamat kuliah? Tak heran hidupmu monoton Mark."

"Lalu kau mau aku melakukan apa? Pergi minum-minum dan berpesta dengan teman-temanmu itu lalu menggoda wanita-wanita di luar sana hanya untuk hubungan satu malam?" Mark mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi ia mainkan. Vernon sendiri tak tahu apa yang sedang sahabatnya itu kerjakan sampai harus seserius itu. "Tidak, terimakasih."

Vernon terkekeh lalu meletakkan bungkusan fruit loops yang masih tersisa setengah dan berjalan mendekati Mark. Mendudukan dirinya di sisi kosong sebelah sahabatnya itu berbaring. "Dude, New York itu lebih dari sekedar party, minum-minum dan one night stand. Kau tak perlu lakukan itu jika kau tak menyukainya. At least, keluarlah dan rasakan bagaimana gemerlap kota ini memukau dirimu!"

"Sudah kubilang, aku malas." Vernon menghela nafas sebelum akhirnya menarik ponsel yang jadi fokus sahabatnya sejak tadi. Dan Mark berteriak tak terima. "HEY, PONSELKU!"

Dengan satu gerakan lincah, Vernon memasukkan ponsel laki-laki itu ke saku belakangnya. Tersenyum jenaka sebelum bangkit dan menarik tangan Mark bersamanya. "Ayo keluar. Temani aku ke 53rd street."

"Untuk apa kau kesana?"

"Aku ingin ke Broadway Theatre."

Mark yang kembali berbaring lantas menoleh kaget melihat sahabatnya. Vernon? Ke Broadway Theatre?

WHAT IF? (mark + koeun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang