Wina tersentak, dan memandang Mika sejenak. Tak paham dengan apa yang di teriakan gadis itu. Lalu akhirnya dia mengingat tujuannya berada di tempat ini, menatap Mika yang sudah seperti mau mencincangnya, Wina menghela napas. Sungguh, kalau dia punya kesempatan dia pasti akan memberi Mika kopi berisi sianida biar tau rasa!
Dosa gak sih?
***
Wina memandang kaca di depannya, mukanya kusut dan basah. Pada akhirnya, setelah dua puluh menit Wina memaksa tenggorokannya meneriakan hymne Universitas di depan fakultas, Mika melepaskannya. Sekarang gadis itu kehausan setengah mati!
Niatnya mau ke kantin membeli minum, tapi siapa sangka kalau Mika begitu kejam karena tak mengijinkannya dengan alasan waktu istirahat sudah habis. Akhirnya dengan putus asa Wina hanya bisa memperjuangkan haknya ke kamar mandi. Sekarang, merasakan air mengalir diatas tangannya yang basah Wina justru semakin kehausan.
Kalau minum air langsung dari keran bakal mati gak ya?
Menghela napasnya, Wina pun mematikan keran wastafel yang menyala secara sia-sia. Seliar apapun pikirannya, pada akhirnya dia tidak bisa begitu tega membiarkan tubuhnya meminum air mentah. Apalagi air yang keluar dari keran wastafel kamar mandi, bisa se-higienis apa coba.
Menarik tisu disamping kaca dengan brutal, Wina mengusap wajahnya yang basah. Kemudian mengoleskan pelembab dan bedak tipis, dan berhati-hati membubuhkan lip balm yang membuatnya mengingat kembali tangan Axel diatas bibirnya, mengusap pelan dengan wajah dingin dan tatapan yang intens.
Tanpa sadar, tangan Wina yang memegang lip balm terhenti di udara sementara yang lainnya menyentuh bibirnya. Gadis berambut panjang itu bertanya-tanya, apa yang Axel pikirkan waktu itu? Apakah dia sama gugupnya dengan Wina? Bagaimana rasa bibirnya di tangan Axel? Sehangat jari-jarinya di bibir Wina, kah?
Mengedip beberapa kali, Wina menatap wajah yang balas memandangnya. Dari kaca wastafel pantulan wajah itu terlihat bodoh, gadis itu pun terdiam sejenak, hingga akhirnya dia sadar dan Wina menggeleng perlahan kesal sendiri. "Kenapa juga tuh cowok kutub mesti diingat-ingat sih!" Memasukan bedak, pelembab, dan lip balm ke dalam tas kecilnya dengan kasar dan membuang tisu yang dia pakai ke temat sampah, Wina pun keluar dari kamar mandi. Moodnya semakin terasa lebih buruk.
Gadis itu belum jauh berjalan, saat seorang pemuda yang semula bersandar di dinding tak jauh dari situ menoleh dan memandangnya. Axel Pranata, dengan lengan almamater birunya yang di gulung hingga ke siku, kaos hitam dan celana jins, sukses membuat Wina menghentikan langkahnya. Axel mendekati gadis itu, mendorong rambut depannya yang kepanjangan ke belakang dengan wajah cuek yang kelewat dingin, Wina menelan ludah. Ya ampun, bisa gak sekali aja dia gak kelihatan sok keren kayak gitu?! Bikin jantung gak sehat aja! Untung sepi.
"Apa?!" Suara Wina serak namun terdengar ketus, matanya memandang penuh permusuhan saat pemuda itu akhirnya berdiri di depannya. menampar Wina dengan aroma citrus dibalik tembakau yang kuat, lama-lama gadis itu bisa-bisa terbiasa dengan wangi ini.
Axel yang jelas jauh lebih tinggi dari Wina, hanya menunduk dan menaikan alis. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, tak cukup banyak untuk dikatagorikan sebagai menyeringai, tapi itu tak terlewatkan oleh Wina yang membuat gadis itu bertanya-tanya apa yang tengah Axel pikirkan.
Apa jangan-jangan dia lagi ngetawain gue dalam hati ya?
"Kalau gak ada urusan, tolong minggir!"
Axel mengeluarkan sekotak teh apel dari kantong almamaternya, dan menyodorkannya pada Wina. "Minum." Perintahnya, nadanya tegas tanpa celah untuk ditolak.
Wina mengedipkan matanya perlahan, otaknya masih mencerna apa yang tengah dilakukan pemuda didepannya itu. Sampai kemudian dia sedikit tersentak saat tangannya diraih oleh Axel yang tak sabar. Menunduk, Axel sudah memaksakan minuman itu digenggamannya. Pada detik ini, Wina tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Bagaimana dia harus menghadapi Axel yang begitu mendominasi?
"Minum, suara lu udah serak." Ada sedikit kelembutan pada suara Axel yang masih memerintah.
Wina memandang minuman di tangannya terpaku, tiba-tiba saja otaknya macet. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kenapa Axel menghampirinya? Kenapa gak ada siapapun setiap dia berhadapan dengan Axel? Kenapa jantung gue jadi deg-degan?!
"Wina Austria..."
Wina mendongak, menangkap mata Axel yang sedang memandangnya, seakan tengah menggali jauh ke relung hatinya. Gadis itu sekali lagi menelan ludah, saat ini telinganya terlalu sibuk mendengar betapa kencang jantungnya berdetak. Hingga dia tak lagi begitu peduli dengan apa yang ada di sekelilingnya. Matanya terpaku, begitu terkunci pada kekelaman di mata pemuda didepannya.
Perlahan, Axel mengangkat tangannya, menyentuh kepala Wina. Baik pemuda itu dan gadis di depannya terkejut dengan apa yang Axel lakukan, tapi tak satupun dari mereka menepis sentuhan itu. Waktu di antara mereka, sekarang ini rasanya terhenti. Baik Axel dan Wina saling pandang dalam kerumitan masing-masing. Dalam pikiran yang rumit di kepala mereka. Hingga suara dering telepon kemudian sama-sama mengejutkan kedua anak manusia itu.
Axel bereaksi lebih dulu, menarik tangannya dan meraih ponselnya yang berbunyi. Berdecak pelan, pemuda itu menekan tombol merah untuk menolak panggilan, dan meletakan kedua tangannya di kantong jas almamater. Tatapannya kepada Wina kembali dingin. "Hindari masalah." Ucapnya perlahan, kemudian terjeda sejenak. "Karena yang boleh ngehukum lu cuma gue." Lanjutnya, dalam lirihan pelan yang hanya mereka berdua yang mendengar. Kemudian tanpa menunggu jawaban Wina, pemuda itupun berbalik dan pergi.
Kaki Wina seketika melemas, kehilangan kekuatan diapun perlahan berjongkok, mengubur wajahnya diantara lutut. Berusaha sekeras mungkin bernapas teratur. Seakan-akan dia baru saja berlari berkilo-kilo meter dalam waktu singkat, jantungnya berdetak kelewat kencang hingga terasa menyesakan. Menggenggam teh apel di tangan, Wina menutup matanya kencang-kencang. "Tadi itu apa-apaan sih!"
----------------------------------------------------------------------
Dear all,
Seperti yang sudah-sudah, saya mohon maaf atas ketidak stabilan waktu update.
Maaf karena membuat kalian menunggu.
Tapi bulan ini adalah bulan yang berat buat saya, saya berduka cukup dalam.
Nenek dan Papa saya tercinta meninggal dalam selang waktu satu hari, awal tahun ini.
Karena itu, saya minta maaf sedalam-dalamnya.
Dan sekarang, semoga kalian menikmati chapter ini.
Happy reading,
R. R. Putri
N.b.
Semua vote dan komen kalian telah memberi saya semangat untuk melanjutkan cerita ini. Terimakasih untuk itu.
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 13
Start from the beginning
