Kacau.

“That’s the way your heart chooses him, Mel. Him refers to Jayden Wilder ya. Itu analisis gue. Valid pastinya.

“Analisis ngawur. Nggak valid sama sekali, Kar,” bantahku. Masih berusaha menyembunyikan senyum.

“Ck. Beneran deh nih anak! Dengerin nasihat gue yang satu ini. Go and tell him how is your feeling as soon as you can, Melody Oon! Before it’s too late! Say YES you will marry to him! teriaknya sampai-sampai aku harus menjauhkan gawaiku selama beberapa detik.

“Merry to him, marry to him. Mana ada, Kar? Jayden ‘kan nggak ngelamar gue. Yang ada dia udah nyerah ama gue ....”

Rasanya ada hantaman batu besar yang menimpa batinku ketika aku mengucapkan kalimat terakhir. Seolah-olah baru menyadarkanku akan hal tersebut.

“Berarti kesempatan gue udah nggak ada, Kar. Baik sama Umar, atau sama Jayden,” bisikku, menyedihkan. Lalu menghela napas dan kembali bersemangat. “Ah, gue mau nyari Benjamin Barnes aja deh. Udah agak berumur sih, tapi dia suami-able banget. Denger-denger sih, doi lagi jomlo,” hiburku untuk diri sendiri.

Patah hati pada orang yang sama itu tolol, tetapi rasanya tetap menyakitkan. Bahkan kupikir lebih. Jika dulu alasanku hanya satu—harus meninggalkannya demi kebaikan semua orang, kecuali Jayden sendiri, sekarang banyak alasan yang menumpuk. Seperti memupuk tanaman dari bibit hingga berbuah. Dan sakit hati inilah hasil panenku.

Belum lagi soal Umar.

Oke, sebut saja aku serakah karena patah hati oleh dua pria. Satu, tunangan. Dua, mantan.

Aduh.

“Melody edan!” hardik Karina. “Gini loh, Oon. Coba deh lo bilang yang sebenernya terjadi, kali aja kak Jay bisa paham. Toh, ini udah berapa tahun, Mel. Pasti si Nensi alias nenek sihir itu udah lupa kalau lo masih ada di bumi. Gue pernah denger dari Zafi yang sekarang kerja di Heratl, katanya perusahaan itu lagi dipimpin kak Jo. Kak Jame malah dari dulu cuma dapet bagian divisi keuangan. Serakah nggak sih?”

“Oh ya? Laki lo kerja di bagian apa, Kar?”

“Iya, bagian legalitas. ‘Kan dia jurusan hukum. Itu pun parah katanya. Banyak dana yang keluar nggak jelas buat apa. Manipulasinya smooth. Tahu nggak apa yang paling parah?”

“Apa?” sahutku penasaran.

“Heratl ‘kan pernah ngurus Hutan Tanaman Industri alias HTI buat pengadaan bahan baku berupa kayu balangeran. Jadi semua hutan itu isinya cuma ditanemin pohon balangeran doang yang nantinya bakal ditebang kalau udah gede.

“Itu loh, pernah bentrok ama warga di Kalimantan. Duh ... gue lupa Kalimantan mana. Yang jelas, bentroknya gara-gara hutan leluhur masyarakat desa setempat ditebang buat jadi HTI itu tadi. Udah gitu, dapet ganti ruginya dikit banget. Bibit-bibit kayu yang habis dibabat dan harusnya cepet ditanem ulang malah sering terbengkalai.

Pokoknya, laki gue ditugasin ngurus legalitasnya. Dari kejadian itu, dia udah ngerasa nipu masyarakat sana dan rencananya mau resign dari Heratl. Mau bikin firma hukum sendiri. Tapi, artinya ‘kan si Nenek Sihir itu udah ngedapetin semuanya, Mel. Jadi, nggak masalah ‘kan, kalau lo bilang yang sebenernya sama kak Jay?” terang Karina. Sedikit-banyak membuatku memikirkannya.

JAYDENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang