Aku memasang senyum getir untuk bertanya, “Can you tell me what the hell is going on?”

Raut wajah Melody tidak terbaca. Berikutnya ia menunduk. Dan ketika mendongak untuk melayangkan pandangannya mengikutiku yang berjalan perlahan menuju kursi kerja yang ia duduki, ia tersenyum dengan tenang. “Duduklah. Aku akan menjelaskannya,” titahnya menggunakan bahasa dan aksen British sempurna sembari menunjuk kursi depan mejanya.

Terpikat oleh omongan itu, aku pun menghentikan langkah dan memutar tubuh untuk duduk di kursi tersebut. Kupikir, Melody akan menjelaskan tentang alasannya menghilang dariku selama ini. Rupanya bukan. Ia malah menerangkan, “Dokter Meggy Force pasti sudah menjelaskannya. Sebulan lalu kau mengalami kecela—”

“Apa-apaan? Kamu pikir aku butuh penjelasan itu?” potongku.

“Kalau begitu, kalau tidak ada yang ingin kau bahas mengenai kesehatanmu, silakan meninggalkan ruangan ini,” pungkas Melody dan amarahku serasa meledak. Aku bangkit, dengan cepat memutari meja kerja untuk mencapai kursinya.

Aku menarik lengan kurus wanita itu hingga ia mengernyit kesakitan dan bangkit. Dengan kedua tangan berada di pundaknya, aku menunduk, menembus pandanganku pada iris gelapnya lalu menuntut, “Jangan bertingkah kayak orang lain! Jelasin pakai bahasa Indonesia aja! Kenapa kamu ini ngilang selama ini?”

Melody mencoba melepaskan tangan-tanganku yang mengguncang pundaknya. Namun, seperti halnya yang kami berdua ketahui, ia tidak akan bisa melakukannya. “Tolong lepaskan. Ini rumah sakit. Tidak baik seperti ini. Atau kupanggil keamanan.”

“Oh, panggil. Ayo panggil. Aku cuma pengin tahu alasan kamu ngilang! Kalau kamu jelasin, kita juga nggak bakal ribut-ribut.”

“Lepaskan aku!” desisnya, masih rajin berusaha melepas tangan-tanganku yang kutekan kuat pada pundaknya.

Dadaku kembang-kempis menunggunya bicara. Namun, selama beberapa saat, ia sama sekali tidak membuka mulut untuk membicarakan hal yang semestinya kami bicarakan. Melainkan terus merintih kesakitan. Aku pun tercengang, tidak menyangka akan sesulit ini untuk membuatnya bicara soal alasan itu.

“Kalau kau ngingingatkan kita sedang berada di rumah sakit untuk membahas ini, oke ayo keluar dari sini!” Aku mengikutinya menggunakan bahasa Inggris.

Kulepas kedua tanganku di pundaknya untuk beralih mengcekal pergelangan tangannya. Kuseret Melody supaya mengikutiku. Keluar dari ruangan dokter, aku mengabaikan tatapan orang-orang di sekelilingku. Sementara Melody terus meronta, aku membawanya ke parkiran mobil.

“Lepaskan! Jangan bertindak seenaknya!”

Jangan bertindak seenaknya? Bukankah aku yang seharusnya menanyakan hal itu padanya? Ia yang seenaknya pergi!

Kupererat cengkraman tanganku, hingga ia benar-benar meronta kesakitan. Aku tidak peduli. Sudah terlalu lama kutahan semua emosi ini. Sebenarnya ia hanya perlu memberiku satu penjelasan paling logis, dan semuanya selesai. Mungkin aku bisa menerima alasan itu untuk menentukan langkah selanjutnya. Namun, kenapa ia tidak memberikannya? Jadi, jangan salahkan aku kalau bersikap seperti ini. Ia sendiri yang memilih jalan ini.

Dengan langkah tersendat-sendat mengikutiku, kami pun tiba di parkiran. Di sana ada Tito yang sedang bersandar di samping pintu mobil sambil merokok. Begitu melihat kedatangan kami, ia memelotot, berdiri tegak dan membuang rokoknya ke bawah serta menginjakknya sampai padam.

JAYDENUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum