"Aku....." Aku tahu dia sedang menggigit bibirnya gugup. Dia tak tahu harus mengatakan apa. Dia pikir aku tak tahu jika dia merasa kehilangan kepercayaan diri, mungkin. "Kau tahu kan, gadis-gadis di luar sana terlihat luar biasa dengan tubuh cantik mereka? Jika aku berjalan didekat mereka, aku merasa buruk Mark."

Aku mendesah sekali lagi, sebelum menariknya menuju kedalam pelukanku. Mengelus ringan rambut lurus panjangnya yang masih beraroma sama seperti saat kami bertemu pertama kalinya.

"Kenapa kau harus membandingkan dirimu dengan mereka? Kau bahkan jauh lebih baik dari mereka. Kau tahu itu."

Koeunku, meskipun dia terlihat kuat, tegas dan luar biasa tegar, aku tahu dia tetaplah seorang wanita yang menyimpan sisi rapuhnya. Malam itu, ia menangis dalam pelukanku.

"Aku takut kau malu setiap harus berjalan bersisian denganku. Aku tidak lagi seperti Koeun yang kau kenal 17 tahun lalu, Mark." Ia menarikku makin erat. Meredam tangisannya didadaku. Aku tahu, dia benar-benar telah kehilangan rasa percaya dirinya. "Sedangkan dirimu? Lihatlah, kau bahkan terlihat makin sempurna di usiamu sekarang ini."

"Hei, siapa yang bilang kau tak sempurna hm? Siapa yang katakan itu? Bilang padaku! Biar ku hajar mulut kurang ajarnya."

Aku bisa mendengarnya terkekeh kecil. Tangisannya mulai mereda. Koeunku lantas menarim wajahnya dari dekapanku. Sedikit mendongak dan membuat kedua pasang mata kami bertemu.

Lihatkan? Dalam keadaan kacau usai menangis seperti inipun, istriku masih nampak luar biasa.

"Kau tak malu punya istri sepertiku?"

Aku mendesah untuk kesekian kalinya sebelum mulai memgangkat tubuh Koeun dalam gendonganku. Ia memekik kecil. Tubuhnya bahkan masih sangat ringan untuk bisa aku angkat seperti ini.

Aku lantas mendudukannya diatas pantri di dekat kompor dapur kami. Ia mengernyitkan dahinya bingung. Melihatku yang mulai menyiapkan panci kecil dan mengisinya dengan air sebelum menaruhnya diatas kompor yang menyala.

"Aku tak peduli Eun, pokoknya malam ini kau harus makan." Ia masih saja melihatku dengan wajah bingungnya. "Aku memang tak bisa memasak, tapi mungkin hanya makanan ini yang bisa akan berhasil ku sajikan diatas piringmu."

"Kau mau buat apa?"

"Ramyun."

Matanya mendelik. Wanitaku itu berkacak pinggang dan lagi-lagi menggeleng tak setuju, menolak ideku. "Astaga, ramyun di tengah malam begini? Apa kau gila?"

"Aku hanya bisa masak ini, Eun."

Aku sudah mengambil satu bungkus mie instan itu dan mulai memasaknya. Aku kadang suka menambahkan beberapa tambahan kedalam ramyunku. Seperti telur dan tomat yang sudah dipotong.

"Aku tidak mau makan ramyun mu itu."

Dia masih tetap dengan kekeras-kepalaannya. Tapi tak juga beranjak dari posisi duduknya di meja pantri.

"Eun, jangan keras kepala!"

Ramyun ku sudah selesai. Yang perlu kulakukan hanyalah memindahkannya ke dalam mangkuk lalu memberikannya ke wanitaku.

Seperti yang sudah kuperikarakan, dia pasti menolaknya. "Sudah kubilang aku tak mau, Mark."

"Makan atau aku suapi?"

"Mark...." rengeknya dengan wajah mengiba. Bertahun-tahun aku selalu luluh dengan wajahnya itu. Tapi kali ini aku akan memantapkan hatiku agar tak lagi mengikuti keinginannya.

"Aku suapi ya." Aku sudah mengambil mie instan tersebut lalu menyodorkannya dihadapan mulut Koeunku. "Ayo buka mulutmu!"

"Tidak mau....."

"Kau ini, apa perlu aku cium dulu agar mau membuka mulut hm?"

Semburat kemerahan muncul di kedua belah pipinya. Tangannya tergerak memukul pelan pundakku. Bahkan setelah sekian lama, ia masih tetap sama. Masih merona tiap kali aku menggodanya.

"Iya, iya, aku makan. Suapi aku!"

Aku hanya bisa tertawa kecil melihatnya yang jadi menggemaskan begini. Perlahan kutiup makanan yang masih panas itu sebelum mengangsurkan kemulutnya. "Enak?"

Koeun mengunyahnya perlahan. Matanya menatap kearah mataku. Aku tahu dia menikmatinya. Aku tahu dia senang karena akhirnya ada sesuatu yang masuk ke perutnya.

".....enak." Suaranya terdengar kecil. Dia malu memgakui jika makanan buatanku enak rupanya. "Tapi hanya hari ini saja. Ini kuanggap cheat day."

Aku menggedikkan bahu kecil sambil tetap menyuapinya yang nampak lahap. "Ya terserah kau saja. Tapi besok malam aku akan menculikmu lagi dan membawamu ke dapur lalu memberikamu ini."

"MAARRRKKK.....!!!"

Wajahnya makin nampak kesal. Tapi serius, menggoda Koeunku adalah hal paling menyenangkan yang pernah ku lakukan. Kami yang seperti ini serasa kembali ke masa disaat belum menikah dulu.

"Eun kau ingat, dulu kita berdua sering sekali pergi ke tepian Sungai Han sambil membeli ramyun instan dan memakannya bersama tiap malam." Sebenarnya kebiasaan memakan ramyun di malam hari itu tak baik, kami tahu itu. Tapi jujur saja, bagi kami tak ada yang lebih menyenangkan selain menikmati ramyun bersama di tepian Sungai Han beratapkan bintang bulan. "Aku merindukan kita yang seperti itu."

"Tapi kita tak bisa selamanya begitu Mark, memakan ramyun dim malam hari itu kau tahu kan? Bisa membuat kita jadi--"

"Iya aku paham. Tapi bukankah itu menyenangkan?" Aku meletakkan mangkuk yang masih tersisa setengah porsi itu disebelah tubuh Koeun. Kedua tanganku sudah beranjak. Memenjarai tubuhnya yang masih duduk diatas pantri dapur. "Kau tahu tidak, seperti apapun dirimu aku tetap mencintaimu. Tak peduli jika nanti ada jerawat di wajahmu, atau berat badanmu naik, atau apapun yang kau anggap buruk, aku akan tetap disini bersamamu. Jangan pikir aku akan pergi hanya karena hal remeh seperti itu. Aku mencintai bukan hanya dari kesempurnaan yang kau miliki. Sudah jadi konsekuensi bagiku jika aku pasti mencintai kekuranganmu juga saat aku putuskan untuk bersamamu sampai akhir hayatku."

"Mark tapi--"

"Jangan ada tapi-tapian, Eun. Perasaanku padamu tak ber-tapi. Aku mencintaimu apa adanya." Aku menangkup kedua pipi lucunya. Memberikan seulas senyum menenangkan sebelum menyatukan kedua dahi kami. "Jika aku bisa mencintaimu sebesar ini, kau juga harus bisa mencintai dirimu sama besarnya. Jangan pernah bandingkan dirimu dengan orang lain di luar sana karena untukku, kau itu one in a million. No one can be like you."

Bisa jelas kulihat ketika matanya mulai berkaca-kaca. Dengan segera ia menarikku dan membenamkan wakahnya diatas pundakku.

"I love you too, Mark Lee."

Kalian tahu, setiap orang mungkin pernah merasa tak percaya diri. Tapi yakinkan diri kalian jika kalian bisa mencintai diri kalian lebih besar dari cinta orang-orang disekeliling kalian.

Jika kalian bisa mencintai orang lain dengan begitu besarnya, kenapa kalian tak bisa mencintai diri kalian lebih besar lagi?






















Anyway, aku juga sedang belajar untuk mencintai diriku sendiri meskipun sulit
Kalian juga ya

WHAT IF? (mark + koeun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang