Bab 20

215 43 88
                                    

Hallo, aku balik lagi. Emm, yaudin gaes langsung dibaca aja ya. HAPPY READING!

"Kita jalan tapi beda tujuan. Karena meski beriringan kita beda perasaan."

***

Thea merasa seluruh tubuhnya bergetar, terutama di bagian betisnya. Peluh dingin membasahi sebagian wajahnya yang kini mulai pucat. Padahal baru sekitar sepuluh meter ia melajukan sepedanya yang terdapat Bintang di boncengannya. Bintang benar-benar makhluk Tuhan yang menyebalkan.

"Gue gak sanggup ... lagiiii ...," rintih Thea sembari menghentikan gerakan kakinya.

Bintang bangkit, buru-buru ia mengecek keadaan Thea. Cowok tinggi itu kontan langsung membulatkan kedua bola matanya. Keadaan Thea benar-benar buruk, sangat memprihatinkan.

Tangan Bintang terulur, menangkup pipi dingin yang basah karena peluhnya. "Te, lo kenapa?"

Mata Thea mengerjap-ngerjap sebentar, ingin merespon tapi tenaganya sudah tidak ada. Perlahan, pandangannya mulai kabur, pening melanda kepalanya. Tenggorokannya kering, sampai kini terbatuk-batuk.

"Te, Thea," panggil Bintang sambil menepuk-nepuk pipi tembemnya, khawatir.

Thea ambruk di dada bidang Bintang, dengan cekatan Bintang langsung membopong tubuh gadis itu tanpa memikirkan sepedanya yang sudah terjatuh.

Sekarang, logikanya menghujani hujatan pada dirinya sendiri. Bintang menyesal, ia tidak tahu akhinya akan jadi seperti ini. Bintang mendudukkan tubuh lunglai Thea di rerumputan pinggir trotoar. Tangannya meraih botol minum Thea, dan langsung memberikan Thea minum.

"Te, maaf ya." Bintang menampilkan ekspresi penyesalan yang mendalam. "Gue bakalan diet deh, biar kalo dibonceng lo, lonya gak keberatan."

Thea tidak pingsan, ia mendengar semuanya bahkan ia dapat melihat ekpresi wajah Bintang. Tapi ia masih belum bisa mengakat suaranya, sebab tenaganya belum pulih betul.

"Nanti ... gantian lo yang bawa sepedanya," ucap Thea dengan suara parau sambil menengadah ke atas, tepat di wajah Bintang.

Bintang terperanjat, "Hah? Ngayuh sepeda?"

"Hm. Kenapa emang?"

Thea menggeser tubuhnya, tidak lagi bertumpu pada dada Bintang. Kondisinya membaik. "Buruan, gue pengin cepet-cepet rebahan."

"Kenapa malah jadi patung sih?" tegur Thea mulai jengah.

Bintang menyentuh punggung tangan Thea, perlahan ia mengubah arah pandangnya menjadi menatap Thea.

"Gue mau jujur sama lo, janji ya gak boleh ketawa." Bintang mengacungkan ibu jarinya.

Bibir Thea terangkat sekilas, tangannya membenarkan kekeliruan yang dilakukan Bintang. Kini jari kelingking yang mengacung, lalu Thea langsung mengaitkan jari kelingkingnya.

"Janji," ucapnya mengalah, ia tidak ingin berlama-lama di sini.

Sejenak, Bintang mengatur napasnya lalu berdeham beberapa kali. "Jadi gini ... gini lho Te. Sebenernya tuh gini Te, aku itu sebenernya ppftt ...."

Thea membekap mulut Bintang yang belum selesai bicara. "Ngomong yang bener!"

"Gue gak bisa naik sepeda," ungkapnya, membuat bulu kuduk Thea berdiri saking terkejutnya.

Bintang melirik ke arah Thea yang tampak biasa-biasa saja. Kok gak ketawa?

"Te, kok lo gak ketawa?"

"Kan udah janji."

Entah kenapa sekarang rasa lucu menjadi berbalik menerpa dirinya. Mendadak Bintang tertawa kecil yang masih mampu terdengar oleh Thea.

THEA Where stories live. Discover now