Bab 2

436 149 70
                                    

Happy reading, jangan lupa voment.

"Tak terlihat tapi selalu dekat. Enggak selamanya yang selalu ada itu erat."

***

"Bintang!"

Cowok tinggi dengan senyuman paling menawan sejagat raya itu menatap datar orang yang baru saja memanggilnya. Rio yang masih setia menenteng amplop putih yang isinya tampak begitu menonjol, dengan segera memberikannya pada Bintang. Kedua sudut bibir Bintang tertarik ke atas saat ia berusaha mengeluarkan isi amplopnya. Voice Recorder berwarna hitam yang masih aktif merekam.

"Eh vidionya matiin dulu dong Yo. Lo mah bener-bener deh. Gue kan suruhnya rekam Thea doang, ini malah gue juga kebawa-bawa," protes Bintang sembari mengambil alih ponselnya dari saku seragam Rio.

Rio nyengir tanpa dosa sambil menggiring Bintang untuk segera jalan.

"Thanks ya Yo, lo emang terbaik."

Seseorang kalau sudah jatuh cinta pasti tingkahnya jadi berubah. Berbeda dari biasanya. Orang lain pasti mikirnya, "Ah ada-ada aja."  tapi itu terserah. Setiap orang bebas berpendapat, bebas menyuarakan isi kepalanya. Apapun pendapat orang, Bintang tak mau ambil pusing. Mau dikatain aneh, atau bahkan gila sekali pun kalau niatnya demi Thea itu tidak jadi masalah.

Mungkin bagi Thea dan teman-temannya kedatangan Rio tadi adalah keisengan orang asing yang kurang kerjaan. Tapi sebetulnya ada tujuan lain di balik itu semua. Ada yang menginginkan membawa pulang suara cempreng Thea, mengabadikan wajah kesal Thea yang nantinya bisa ia putar ribuan kali tanpa bosan. Seseorang itu Bintang. Bintang A Javioero, lahir di bulan Januari delapan belas tahun yang lalu.

"Kalo suka kenapa gak langsung samperin aja sih Tang? Kan kalo lewat perantara, bisa kebingungan Tang si Theanya." Rio mendadak memberhentikan langkahnya, spontan Bintang mengikutinya.

"Terus cuma karena dapet vidio sama rekaman suara Thea lo merasa udah lebih baik? Udah segitu doang kemauan lo? Gak mau Thea jadi milik lo gitu Tang," cecar Rio sambil memperhatikan raut wajah Bintang yang masih terlihat santai-santai saja.

"Saat gue tau Thea sekolah di sini, dia jadi alasan gue masuk sekolah." Bintang menengadah ke atas sambil tersenyum kecil. Memang sih sebelum Thea masuk ke SMA Suka Harapan, Bintang rajin nyelengin poin alpa di sekolah.

"Gue selalu luangin waktu buat ketemu dia, walau dari jauh. Karena gue takut Thea bakal bilang enggak kenal gue Yo." Jeda sebentar, Bintang menghela napas. "Bahkan gue suka ngikutin dia ke mana pun dia pergi, karena gue takut dia jatuh dari sepeda sialan itu Yo."

Jujur saja Rio sudah muak mendengarkan cerita yang sudah ribuan kali Bintang ceritakan ini. Ya habisnya Bintang itu payah, sudah tahu suka tapi enggak mau usaha. Sekali-kali muncul depan muka Thea sambil kasih senyuman, kan mungkin bisa buat Thea klepek-klepek. Tapi bukan Bintang namanya kalau tidak rumit, hidupnya penuh dengan teka-teki yang cuma dirinya saja yang bisa pecahkan itu.

***

Derita seorang jomblo itu lebih berasa kalau malam sudah tiba. Kenapa? Ya karena sepinya makin berasa. Seperti halnya dengan Thea, disaat teman-temannya pada berlomba-lomba posting screenshots hasil vidio call bersama pacarnya, Thea cuma bisa bilang iri dalam hati.

Di kamar yang bernuansa biru dengan sedikit stiker bergambar Doraemon, Thea duduk bersilah di atas kasurnya. Melihat ke arah luar lewat kaca jendela, berharap Ayahnya segera pulang. Sebagai dokter spesialis jantung yang kini penyakitnya sudah semakin banyak di derita orang Indonesia, membuat Ayahnya sering pulang larut.

Sampai akhirnya satu bunyi pesan mengagetkan lamunannya.

Isnaka Agatha : Woy.

Yunita Nakeysha : Kenapa woy?

THEA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang