Bab 17

212 52 93
                                    

Hallo selamat membaca Thea di bab 17 ini. Semoga makin suka, makin cinta, dan makin penasaran ya. Jangan lupa buat vote, share, dan komen ya. Happy reading!

"Enggak papa kalo dia nitip luka yang berat, itu mungkin cara Tuhan buat kita jadi hebat"

***
Bintang menerima selembar kertas hasil usahanya beberapa jam yang lalu. Matanya membelalak saat melihat tinta merah yang ada di pojok kiri atas menunjukkan angka delapan. Sebuah nilai paling membanggakan yang pernah ia dapatkan selama sekolah. Pikirannya langsung mengingat Thea. Bagaimana gadis mungil itu dengan tulus mengajarinya metode belajar yang baru pernah ia lihat. Dan, metode mendengarkan ternyata jauh lebih efektif ketimbang membaca.

Entah kenapa di hari ujian seperti sekarang, sekolah menerima tamu yang ingin mengadakan seminar tentang minat baca. Yang seharusnya pulang cepat, jadi tertunda gara-gara event membosankan itu.

Semua murid tanpa terkecuali guru-gurunya berkumpul di lapangan basket. Padahal sedang terik. Iris hitam Bintang menyapu pandang setiap kerumunan siswa yang tampak sedang mengeluh kepanasan. Ia mencari gadis pemilik pipi tembem yang menggemaskan itu. Bintang yakin sekarang Thea sedang mengeluh seraya berdecak sebal.

Bintang langsung berdiri tatkala matanya menangkap keberadaan Thea. Pantas saja sedari tadi ia cari-cari tapi tidak ketemu, ternyata Thea sedang menenggelamkan kepalanya di balik kakinya.

Merasa ada keanehan, Thea mengangkat alisnya. Padahal tadi kepalanya merasakan bagaimana terik matahari menyengatnya, tapi kenapa sekarang seperti lebih teduh. Penasaran, Thea mendongak. Lantaran silau, Thea sampai menyipitkan matanya melihat sosok yang sekarang berdiri menghalangi paparan sinar matahari yang ingin menerpa kulitnya.

Mendadak seluruh pasang mata mengalihkan pandangannya pada dua manusia yang terlihat seperti sepasang kekasih ini. Meskipun Thea paham betul mereka lebih terfokus pada ketampanan Bintang yang selama ini tidak pernah terekspos banyak orang.

"Ngapain sih lo? Mau bikin gue malu lagi?" protes Thea sembari menarik tangan Bintang dengan sekuat tenaganya supaya duduk.

"Kasian gue liat lo kepanasan. Kabur aja yuk, mau gak?" Ajakkan Bintang yang satu ini, kontan membuat mata Thea membelalak. Bagaimana mungkin gadis mungil sepertinya bisa melompati pagar sekolah yang tingginya menjulang.

Thea menyeka peluh di pelipisnya yang tiba-tiba menetes. "Sinting lo. Kalo mau kabur, sana sendiri. Jangan ngajak-ngajak gue. Lo gak tau apa soal rumor yang katanya satpam sekolah kita itu galak?"

"Tau lah, kan gue udah lebih dulu sekolah di sini elah. Gue udah sering kabur tapi gak pernah ketahuan tuh." Bintang mengangkat dagunya menyombongkan diri. Bersamaan dengan itu, ia melepas tas gendongnya dari pundaknya. Bintang mengeluarkan selembar kertas yang sejak tadi menjadi alasannya mengingat Thea terus. "Lo tau, ini nilai paling bersejarah bagi gue. Sejauh ini, nilai paling membanggakan yang pernah gue dapet itu empat Te."

Jemari Thea membuka lipatan kertas itu, pandangannya langsung terjatuh pada goresan tinta merah yang membentuk angka delapan yang dilingkari. Merasa bangga, Thea mengusung senyum lebar. Thea senang jika apa yang ia ajarkan membuahkan hasil yang memuaskan.

"Semua mapel udah gue rekam kan? Jadi jangan lupa buat dengerin. Gue tau lo pasti bisa buktiin ke Pak Topo kalo lo bukan murid terbodoh seangkatan," ucap Thea sambil menyerahkan kembali kertas itu pada Bintang.

Bintang mengangguk-anggukkan kepalanya mantap.

"Tang," panggil Thea tiba-tiba. Bintang yang sedang menutup resleting tasnya langsung merespon dengan gumaman pelan. "Gue udah punya doi."

Perkataan Thea membuat hati Bintang mencelos perih. Mulut Bintang setengah mengatup, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus mengatakan apa. Sungguh ia lebih rela jika Thea memarahinya, mencacimaki kebodohannya.

THEA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang