Hujan 51 | ☔💧

529 32 0
                                    

"Didunia ini ada suatu hal yang tak bisa ditebak? Apa itu? Sebuah takdir"
_Hujan Nandira




"Guru terbaik dalam kehidupan itu bukan hanya sekadar ilmu, namun pengalaman pribadi"
_Kak Reza






Sebuah kalender menampilkan deretan angka,salah satunya angka yang menjadi sorotan mata yakni 31, dan diatasnya terdapat tulisan Januari.
Di lantai dekat sofa itu, ada satu koper berwarna pink. Sebuah tas slempang tergeletak di meja belajar.
Tinggal hitungan jam, aku akan membawa semua benda itu.
Namun aku beruntung, masih memiliki pagi dan siang untuk berada disini.
Tapi aku belum sanggup untuk menemui dirinya.
Pagi ini aku memilih diam di kamar.
Memandang langit yang cerah dari balik kaca jendela.
Masih terbayang lekat kejadian semalam itu, yang mengantarkanku sebuah kesedihan.

Pantaskah pagi ini aku tersenyum kebahagiaan?
Oh aku tidak tau, tapi kali ini aku belajar untuk mendapatkan senyuman itu.
Sebuah ketukan pintu membuatku kembali ke dunia nyata, bukan dunia imaginasi.
"Masuk, tidak Hujan kunci", tukasku sedikit keras.

Dibukalah pintu kamar milikku, sosok lelaki tampan berumuran lebih dari empat tahun dariku. Celana jeanz hitam yang dibagian lututnya sobek, mungkin pembuat celana itu sedang marah saat membuatnya. Sampai celananya sobek seperti itu, herannya masih ada yang beli juga.
Kaos oblong berwarna putih polos merek distro disalah satu kota Bandung melekat dibadannya, memakai topi senada dengan sepatunya yang berwarna merah maroon, rambutnya terlihat keminclong. Rupanya telah memakai pomed dua dus. Parfum aura green tea terasa sekali di indra penciumanku.

"Kak Reza? Berangkatnya kan masih nanti sore, mengapa udah ready?" tanyaku sebagai topik awalan.

"Iya, apa salahnya kalau sekarang sudah rapi? Toh, pagi ini kak Reza mau ajak kamu ke makam mama" terang kak Reza.

"Oh ke makam mama, wah Hujan mau" jawab sumringahku.

Namun kak Reza masih asik memandangiku, ya aku masih memakai piama bermotif hello kitty. Bahkan rambutku sudah kayak habis dilanda angin badai.

"Kak Reza bakal ajak kamu, kalau kamu udah mandi" pinta kak Reza.

"Hm, baik deh" ucapku santai.

Namun kak Reza masih saja berdiri tegap di kamarku. Membuatku sedikit mendengus sebal.
"He ngapain masih disitu? Kak Reza keluar, ya kali kak Reza nunggu disini. Hm!!"

"Iya dehh, bawel" ketus kak Reza yang tanpa diusir lagi dirinya sudah melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Buru-buru aku menutupnya, dan menarik handuk yang tergantung dibalik pintu. Bergegas menuju kamar mandi, tak perlu menyelenggarakan konser lagi. Kali ini aku harus mandi cepat, gak terbayang nanti kalau ditinggal kak Reza ke makam dulu.

Pukul 08.45 WIB, aku turun dari lantai dua. Menuju ke sofa, tepatnya disana ada kak Reza yang sedari tadi memainkan ponselnya.
"Ayo kak" lirihku.

"Makan dulu, belum makan udah ngajak ayo" cerca kak Reza.

"Hmmm, tapi Hujan gak laper" elakku penuh kemurungan.

"Bi, buatin susu satu gelas sama ambilin roti. Bawa kesini ya bi?" teriak kak Reza yang hampir membuat gendang telingaku merinding.

"Iya den" balas bibi tak kalah seru.

Sekitar satu menit, bibi pun datang dengan membawa apa yang diminta kak Reza.
"Dah tuh makan dan minum, pengganjal lapar" suruh kak Reza.

"Yeh"

"Nurut sama yang lebih tua, cepet habisin" bawel kak Reza.

"Iya kak Reza yang ganteng tapi sayang nyeselin" pungkasku.

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now