Hujan 40 |☔💧

532 32 13
                                    




"Apa ini yang dinamakan takdir tak bersahabat denganku? Apa mungkin takdir sedang marah kepadaku?"
_Hujan Nandira.



Pagi ini hawa dingin terasa disekujur tubuhku, segalanya membuat pikiranku kacau. Aku benci dengan segala keadaan. Moodku benar-benar hancur, semuanya terasa membosankan.
Pukul 03.00 WIB aku sudah terbangun dari alam mimpi, semalam untuk tidur pun tak bisa. Pikiran terasa was-was, jantungku berdebar amat kencang.
Aku masih duduk di sofa, memandangi sosok wanita separuh baya itu. Ya wanita itu adalah mamaku, bersama dengannya lah aku jauh bahagia.
Namun, kebahagiaan itu hilang seketika. Semakin detik berputar, kebahagiaan itu akan memudar.
Aku kini hanya bisa berharap, mama segera bangun dari dunia koma. Kembali pulih dari rasa kesakitan.
"Mama, apa pagi ini aku akan mengantarkanmu kepemakaman?" gumamku.

Reza terbangun dari tidurnya, dia bangkit dan duduk disebelahku.
"Mama terlalu baik untuk pergi, semoga takdir bersahabat dengan kita" tambah Reza.

"Seandainya pagi ini juga, mama bangun. Mungkin sebuah kebahagiaan besar yang Tuhan berikan kepadaku" desis pelanku.

"Entahlah Hujan, pusing kepalaku" keluh Reza.

Reza bangkit dari duduknya, melangkah pergi keluar dari kamar.
Aku yang melihatnya hanya bisa diam tanpa ekspresi apapun.
Mataku hanya bisa memandang mama, berharap ada sebuah gerak dari salah satu anggota tubuh mama.

Aku terkejut dengan kehadiran Afero yang sepagi ini dirinya datang.
Bukankah jam segini, biasanya anak cowok masih asik tidur. Namun, berbeda dengan cowok satu ini. Dia terlalu baik denganku dan sukses membuatku gagal untuk tidak mencintainya.
"Fer? Ngapain kesini?" mencoba angkat bicara.

"Nggak ngapain-ngapain" cueknya.

"Hm, Fer mamaku gak bangun-bangun. Mama udah benci ya sama Hujan?" tanyaku dengan nada sendu.

"Hus, ngomong apasih? Seorang mama itu gak akan pernah benci sama anaknya. Apalagi anaknya tidak pernah berbuat sebuah kesalahan" elak Afero.

"Jadi mama sayang sama Hujan?" tanyaku memastikan.

"Tentu Hujan" balas Afero dengan manggut-manggut.

"Tapi, mengapa mama tak mau bangun demi aku?" aku kembali bertanya.

Afero memilih diam, rupanya dia tak nyaman dengan pertanyaanku ini. Aku kembali terlelap dalam kesedihan. Air mataku kembali menetes, sakit rasanya hati ini. Keberanianku menciut, semuanya kembali membosankan.
Sedikit demi sedikit suara rintik hujan terdengar, cuaca  pagi ini rupanya hujan. Hawa dingin cukup terasa menggigil dikulit.

"Sudahlah jangan menangis, mamamu baik-baik saja" Afero kembali angkat bicara.

"Fer, sudah berapa kali aku harus mengatakan. Aku bukan anak kecil, yang bisa dibohongin begitu saja", tegasku.

Afero kembali diam, dirinya sibuk mengeluarkan ponsel. Mengotak-atik ponselnya, mungkin sedang bermain Game andalannya.
"Fer panggil dokter, aku harus menanyakannya kepada dokter. Mengapa mama tak kunjung bangun?" ocehku.

"Kamu yakin? Kamu akan kuat menerima apapun yang terjadi?" tanya Afero.

"Hmm, aku belum siap" jawabku merendah.

"Hujan, apapun yang terjadi. Kamu harus yakin semuanya sudah kehendak Allah. Percayalah!!" qoutes motivasi dari Afero.

"Setidaknya mama bangun untukku" harapanku.

"Hujan" panggil Afero.

Aku menunjukan raut wajah penuh sendu, tak henti-hentinya aku menangis. Sungguh aku seperti anak bocah yang ditinggal dirumah sendiri.
Tiba-tiba mesin didekat mama itu berbunyi, entah apa yang terjadi. Dengan cepat, Afero bangkit dan keluar mencari dokter. Aku mendekati mama, aku mengenggam tangan mama penuh dalam.
Tak ada semenit, dokter datang dengan pasukan susternya.
"Dok, apa mama akan bangun?" tanyaku.

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now