Hujan 39 | ☔💧

544 40 6
                                    


"Percayalah, aku akan selalu berada didekatmu. Tanganmu sedang membutuhkan genggaman dariku"
_Afero Aditama

Pagi ini aku sudah terbangun dari tidur yang entah tidur berapa jam. Karena jujur semalam aku tidak bisa tidur terlelap. Pikiranku masih was-was dan ketakutan.
Kali ini mama sudah dirawat di sebuah kamar yang boleh ditemani oleh pihak keluarga. Di kamar atas tepatnya, aku memandang jendela kaca.
Di sana langit terlihat jelas, berwarna biru mengisyaratkan sebuah kecerahan. Ya pagi ini cerah.
Kurasa langit sedang bahagia, mungkin di sini hanya aku yang sedang bingung bagaimana caranya bahagia.
Sesekali aku memandang mama, wajah mama yang pucat dan penuh alat yang menempeli tubuhnya.
Kata dokter, mama sedang bermimpi. Apakah jika mimpi mama lebih indah, mama akan memilih hidup dalam mimpi?

"Hujan... " namaku sedang diucap oleh suara cowok. Siapa lagi pemilik suara serak itu, jika bukan Afero Aditama.

Tanpa kujawab, dia sudah tau bahwa moodku sedang ancur. Untuk berbicara pun aku sedang tidak bisa, aku hanya memilih untuk sendiri.

"Aku bawakan makanan kesukaanmu, dan susu kotak. Gih buruan dimakan" suruh Afero sembari membuka bungkusan plastik transparan.

Aku hanya mengangguk, sudah dipastikan bahwa aku tidak mau makan. Bukan karena lapar, hanya nafsu makanku tak ada.

"Hujan, jika kamu sakit. Mama kamu pasti khawatir" kata Afero.

"Mama apakah bisa melihatku? Bisakah mama berkata khawatir? Fer, lihat mama sudah dari kemarin tak mau bangun" aku mulai angkat bicara.

"Kan aku sudah bilang, kita semua ini harus do'a dan yakin bahwa mama kamu akan sembuh. Percaya deh, mama kamu akan merindukanmu" hibur Afero.

"Aku bukan anak kecil lagi, sekarang aku telah tumbuh dewasa. Aku telah mengerti semuanya. Mungkin dulu, aku mudah dibohongi. Katanya nenek hanya tertidur, nyatanya  nenek telah meninggalkan bumi ini. Sampai akhirnya punya gelar almarhummah" gumamku dalam batin.

"Hujan, tolong sekali ini aja. Kamu mau nurutin apa kataku. Kamu dari kemarin belum makan, dan pagi ini juga kamu butuh asupan" tegas Afero.

"Fer aku tidak lapar" ucapku penuh penekanan.

"Terserahlah, jika kamu sakit siapa yang akan merawat mamamu. Hah, tubuhmu kuat? Iya kuat? Tanpa makan tanpa minum? Kalau kuat, yasudah tak suka makan" ungkap Afero dengan wajah penuh amarah.

"Jadi tak enak hati, Afero kan sudah baik. Dia rela tidak ikut pelajaran, hanya karena ingin menemaniku.
Seharusnya aku menghargai kebaikannya. Tidak seperti ini, dasar Hujan kamu ini bodoh" batinku.

Aku mulai melangkahkan kaki mendekati Afero dan membuka bungkus makanan itu. Sedikit demi sedikit aku makan. Kini ekspresi wajah penuh amarah sudah tertutup dengan senyum yang merona.

"Nah gitu, selesai makan nanti sambil nunggu mama kamu siuman. Kita belajar bareng di sini" usul Afero.
Aku hanya mengangguk. Sungguh, disaat hati ini rapuh. Tuhan, mengirimkanku malaikat. Malaikat yang tak henti-hentinya berada didekatku.


☔☔☔

Siang ini seusai belajar dengan Afero. Aku disuruh Reza untuk pulang ke rumah. Mama akan ditunggu oleh Reza dan Papa sudah lumayan membaik. Tadi papa juga sudah menjenguk mama dengan bantuan kursi roda. Kesedihan dan kekhawatiran sedang melanda papa.

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now