Hujan 48 | ☔💧

585 28 1
                                    

"Jangan pergi. Jika kamu pergi, siapa yang akan kulindungi?"
_Afero Aditama.

"Seseorang yang menetap, suatu saat pasti dia akan pergi. Jika dia benar-benar tulus, dia kan tau kemana dirinya pulang dan kembali menetap"
_Hujan Nandira.



Matahari telah menampakkan sinarnya, dinginnya pagi ini terasa sekali dikulitku. Sampai akhirnya aku memilih mendobeli seragam dengan jaket. Kini aku telah berada di ruang makan, duduk dan makan bersama disini. Ada papa dan Reza juga, jadi suasana meja makan tidak hening. Bibi dari kejahuan membawa beberapa piring berisi makanan, sampainya di meja. Bibi menuangkan minuman juga ke gelas. Mataku sedang asik memandang bibi. Hampir saja mataku berair meneteskan air mata, karena merindukan mama.
Biasanya bukan bibi yang melakukannya, tapi mama.

"Ma Hujan rindu dan selalu rindu mama" batinku.

"Kalian kenapa jadi diam begini?" tanya papa memecah suasana.

"Reza kangen sama mama" balas Reza sontak membuatku terkejut. Ternyata kami berdua sama-sama sedang merindukan mama.

"Papa juga kangen sama mama, tapi mau bagaimana lagi? Takdir sudah berkata lain, papa perlahan akan belajar mengikhlaskan. Namun mama tidak akan pernah terhapus dari ingatan papa. Mama akan jadi mama terakhir dari kehidupan papa" ungkap papa dengan wajah yang redup memancarkan kesedihan.

"Makasih pa" pelanku tak terdengar oleh papa atau tidak.

"Rez gimana kalau kita ke makam?" pendapatku untuk Reza.

"Hlo, kan Hujan pergi ke Sekolahan?" tanya papa.

"Oiya pa, Hujan kenapa jadi pikun ya? Padahal Hujan sudah pakai seragam, udah gendong tas juga. Hhhe, jadi pelupa" gumamku disertai tertawa kikuk.

"Reza nanti pergi sendiri pa. Papa katanya mau ada rapat? Kenapa belom berangkat?" tanya Reza.

"Iya, papa berangkat. Yaudah nanti anterin Hujan juga ya? Jangan lupa bawa mobilnya pelan-pelan" amanah papa.

"Siap pa" tegas Reza.

Aku dan Reza pun menjabat tangan papa secara bergantian. Papa pun segera berangkat kerja, sementara di meja makan hanya ada Reza dan aku sendiri.
"Reza" sapaku.

"Iya"

"Yakin kak Reza mau anterin Hujan? Reza gak sibuk?" tanyaku.

"Oh sibuk sih, soalnya ini nanti ada masalah sedikit sama tugas" jujur Reza.

"Yaudah deh, Hujan berangkat sendiri. Paling nanti si Afero juga jemput Hujan" tebakku sendiri.

"Nggak, Reza sudah gak percaya sama Afero. Ntar kayak kemarin itu, kamu tetep kakak anterin" protes Reza.

"Kalau Reza sibuk, biar Pak Tri aja deh" tawarku lagi.

"Hmm, tapi papa? Udah nitip Hujan suruh nganterin Reza?" tanya Reza.

"Yagapapa, kan papa gak tau" jawabku tanpa dosa.

"Oke, tapi kamu janji sama kakak. Kalau ada apa-apa, langsung telpon kakak. Gak boleh cuma diem!!" amanah Reza yang super bawel.

"Heem"

Reza pun bangkit dari duduknya dan pergi menuju ke lantai atas, sementara piring bekas sarapannya. Masih banyak lauk dan nasi, ntah Reza hanya makan berapa suap. Sudah jelas Reza sedang ada masalah.

"Bi, Hujan berangkat" seruku berpamitan dengan bibi.

Namun rupanya bibi ada di dapur, jadi tak terlalu mendengar suaraku.

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now