Hujan 38 | ☔💧

632 41 17
                                    

"Pengen banget berteman dengan takdir, biar bisa minta takdir yang manis terus"
_Hujan Nandira

"Hidup di bumi tidak selamanya bahagia, karena jika bahagia. Kita akan melupakan surga impian kita"
_Afero Aditama

💜


Sore itu aku siuman dari pingsan.
Mataku perlahan kubuka, dan yang kulihat pertama adalah Afero. Namun kini Afero duduk memejamkan mata pulas.
Aku hanya bisa tersenyum, entah senyum atas perhatian Afero ini atau justru aku kembali jatuh cinta kepadanya. Baru saja ingin memandang wajahnya, namun rupanya Afero merasa kuat pengindraannya. Dia sadar bahwa aku sudah bangun dari masa pingsan.

Afero bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
"Masih gak enak badannya Hujan?" tanya Afero sembari memegang dahiku.
Aku hanya menggelengkan kepala, sebagai jawaban bahwa badanku kini kembali sehat.
"Thanks ya Fer" pelanku.

"Untuk?" tanya Afero.

"Semuanya" singkatku yang hanya dibalas dengan senyuman dari Afero.

Aku pun segera berdiri dan berusaha berjalan bersampingan dengan Afero.
"Ayo kembali ke tenda" ajakku.

Tanpa menunggu jawaban dari Afero, aku pun berjalan lebih cepat menjauhi posisi Afero. Karena aku harus segera ketenda untuk berganti baju dan melakukan aktivitas lainnya.

Dan malam ini, acara yang akan diadakan yakni renungan malam. Kini semua siswa duduk lesehan dan membentuk lingkaran. Begitu pun dengan diriku yang duduk bersampingan dengan Siska.
Afero? Entah kemana dirinya.
Mungkin ikut panitia atau bagaimana, aku pun juga tidak tau.

Kupadang langit, amat jauh di atas sana. Beribu-ribu benda bercahaya telah tersebar di luasnya langit. Langit yang begitu gelap, kini terhiasi oleh bintang. Pernah bercita-cita, ingin mengambil salah satu bintang dari mereka.
Namun setelah aku dewasa, aku baru sadar. Bahwa itu semua hanyalah hal bodoh.
Aku menutupkan mataku.
Sungguh air mataku ingin menetes, setiap kali mengingat sosok ayah. Mengingat segala perjuangannya dan segala kegigihannya untuk membuat diriku agar bahagia.
Dan tepat sekali, malam ini renungan mengangkat tema seorang sosok ayah.
Rasanya aku benar-benar hanyut dalam event malam ini. Tak henti-hentinya aku meneteskan air mata.
Aku sadar bahwa aku sepenuhnya belum bisa memberikan hadiah untuk ayah, bahkan mewujudkan mimpi ayah pun aku belum.
Sungguh, aku bukanlah surga kecil ayah.

Seusai acara renungan, sebagian dari kami ada yang berselfi-selfi ria ada pula yang bakar-bakar.
Aku memilih untuk duduk disebuah ranting pohon. Sembari memandang langit yang sungguh amat cantik dengan sinar bintangnya.
Namun ternyata ada yang lebih bersinar, ya Afero. Dia sedang memposisikan duduk yang lebih nyaman disampingku.
Dia membawa gitar, dia juga membawa sepotong jagung bakar yang telah dibakar.
"Nih buat kamu?" sembari menyerahkan sebuah jagung bakar.

"Tumben? Jangan-jangan kamu kasih racun ke nih jagung? Habis tuh aku pingsan, terus...?" celoteh berkepanjangan dariku.

"Terus apa? Yeh otak kamu udah omes" cela Afero.

Tanpa berpikir panjang, aku segera memakannya. Dan kini Afero sedang bermain gitar.
"Kenapa kamu main gitar didekatku?" tanyaku.

"Ya pengen aja, kenapa? Kamu takut kalau kamu nginget masa lalu kamu?" tanya Afero kembali yang membuatku diam tak berkutik pun.

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now