Hujan 43 | ☔💧

502 25 0
                                    

"Rindu hanya rindu yang bisa kutulis, bahkan kertas ini sudah penuh dengan tulisan. Boleh aku meminta kertas lagi? Untuk menulis rindu?"
_Hujan Nandira


Malam ini aku terbangun dari sebuah mimpi, mataku perlahan kubuka. Berdiri dan melangkahkan kaki menuju meja belajar.

Klik!

Lampu belajar menyala, menerangi meja berbentuk persegi panjang. Aku mulai asik mengeluarkan sebuah album foto dari laci.
Sedikit berdebu, namun foto itu masih terlihat jelas tak ada yang cacat satupun.
Entah, siapa yang membuatku bangun tengah malam seperti ini.
Namun rasanya aku ingin membuka album foto ini.
Sedikit demi sedikit ku buka lembaran foto. Terdapat foto mama sama ayah, fotoku bersama ayah, fotoku bersama mama dan tentunya foto kami bertiga di album ini cukup banyak.
Sempat tertawa saat mengingat sebuah kenangan minggu lalu atau pun tahun lalu. Tak ada satu pun hal yang kulupakan jika mengenang mereka.
Di foto terlihat sekali kami semua merasakan kebahagiaan, seolah semuanya tak kan jadi seperti saat ini. Tak ada dugaan juga jika mereka akan pergi secepat ini.

Detik berikutnya, air mataku menetes saat melihat ekspresi mama yang tersenyum memelukku. Rasanya pelukan itu masih terasa di sini. Karena itu, malam ini aku menangis lagi.  Aku takut melawan kehidupan, aku takut sendiri. Aku disini tak ada sosok malaikat lagi, dimana ayah? dimana mama? Mereka telah meninggalkan aku disini. Kapan lagi kita berkumpul, saling menceritakan duka dan bahagia.
Sungguh aku rindu mereka.

Aku menutup album foto seketika, saat mengetahui bahwa pintu kamar terbuka. Air mataku segera kuhapus, aku bangkit dari kursi. Ternyata Reza yang datang,

"Ada apa Rez?" tanyaku masih dalam suara serak.

"Gak, cuma mau masti in. Adeknya kakak sudah tidur apa belum? Eh taunya belum, kenapa kok belum tidur?" celoteh panjang Reza.

"Hla kamu sendiri kenapa gak tidur?" tanya balikku.

"Habis nonton bola, bolanya belum selesai. Tapi udah ngantuk" curhat Reza.

"Yaudah tidur sana, ngapain kesini?" usirku.

"Baru aja datang, udah diusir" ledeknya.

"Aku ngantuk Rez, sana keluar. Jangan ganggu, besok Hujan bakal sekolah. Kalau terlambat bangun, pasti orang yang pertama aku salahin adalah kamu" tudingku.

"Hm, yaudah aku keluar. Tapi harus janji kamu harus tidur. Jangan begadang, apalagi nangis" ucapnya yang kalimat terakhirnya membuat air salivaku segera kutelan.

Reza keluar dari kamarku dan menutup pintu kamarku. Aku segera melangkahkan kaki menuju kasur,tidur terlentang. Menatap langit-langit kamar.
"Ma, Hujan kenapa ya belum bisa ikhlas ditinggal mama? Padahal mama baru kemarin pamitan sama aku buat pergi ke Bali. Mama juga gak pamit buat pergi selama-lamanya" rintihku.

Tanganku meraba-raba kasur, mencari benda pipih itu berada. Dan beruntungnya benda pipih itu tak jauh dariku, segera ku usap layar benda pipih ini. Menuju menu Whatsaap, ya membuka chatinganku bersama mama yang terakhir kali.
Cahaya LED biru pada layar ponsel itu nyaris menyinari wajahku, aku dengan seksama membaca satu persatu pesan itu.

~Sayangnya mama jangan lupa makan ya? Mama di Bali makan banyak banget, ntar pulangnya bakal gendut nih~

~Hujan sudah subuh kan? Titip do'a buat mama ya, do'a nya yang terbaik jangan yang buruk~

~Hujan udah belajar kan?~

~Sayangnya mama udah tidur belum? Jangan begadang, jangan main hp melulu~

Hujan Januari (COMPLETED)Where stories live. Discover now