Hujan 9 | 💕☔

1.1K 73 12
                                    




"He", sapa Afero.

"Tayo", pelanku yang ingin melawak.

"Hm, Hujan jangan bengong" mendengus sebal Afero.

"Eh..maap" gugupku dengan segera membenarkan posisi tegap.

"Mikirin aku kan? iya kan" tebaknya.

"Ya gak, kan tadi kamu bilang aku sepuas-puasnya" , tegasku tak mau disalahkan.

"Ya habis diem, kan kalau nangis ada suaranya"

"Nangisnya aku batin. Yang denger cuma orang ganteng aja"

"Iya iya aku paham, aku cuma ngetes kamu. Kamu masih sadar apa nggak. Bersandar dibahu gue sampai tua juga nggak papa kok"

"Hem, itumah modus!"

Malam ini memang kami semua tidak tidur menunggu saudaraku yang masih belum datang dan menunggu Ayah dengan membaca bacaan ayat qur'an, dan pagi ini memang benar - benar datang. Detik pagi berputar begitu cepat, tak hanya detik saja. Menit jam berlomba-lomba untuk saling meraih.

Alhamdulillah cuaca memang cerah. Pukul 06.00 WIB,  kami menuju pemakaman. Saat itu memang betul banyak yang berkunjung dan ikut dalam pemakaman. Berbaju hitam dan sedikit makeup aku mendampingi ibuku yang menangis. Aku memang menangis namun tangisku tak terlihat. Karna aku sadar bahwa untuk apa menangis. Sampai mata bengep pun Ayah tak kan kembali. Saat ini yang harus kulakukan mengikhlaskan dan berdoa..ya juga berusaha menjadi orang yang sukses.

Pemakaman sampai jam 7 pun masih ramai, karena memang ayahku adalah mantan pengusaha terkenal disalah satu Bandung. Dan ayah juga punya teman banyak Dari Kota. Saudara pun juga tak kalah banyak.

"Bu, Hujan pulang dulu ya sama Afero" pamitku sembari mengelus bahu ibu.

"Iya nak, Ibu nanti nyusul sama Bude" tutur ibuku yang ternyata masih asik di depan mendiang ayah.

"Tante jangan nangis ya..
iklasin" sahut Afero dengan senyum.

"Iya...iya" cuek ibu.
Aku pun meninggalkan area pemakaman itu.

Dengan laju motor Afero yang kencang membelah kota Bandung ini. Kami menyusuri Jalan raya hingga sampai jalan yang becek disebuah perkampungan. Ya itu  rumahku, karna rumahku jauh dari perkotaan. Makannya setiap berangkat sekolah harus diantar Ayah menuju halte, rumahku berada masuk gang. Amat jauh untuk menuju jalan kota.
Bahkan menuju rumahku, kalian akan disuguhi perkebunan atau aktivitas petani yang masih asri.
Itu cukup membuat suasana hati menjadi damai.
Namun kedamaian itu telah hilang,
Sekarang aku kemana-mana harus naik bis, sebab sepeda motor ayah dijual untuk bayar utang ayah. Dan rencananya uang dari bunga tabur para saudara dan teman- teman untuk membayar hutang ayah juga dan ganti rugi bis yang telah rusak. Jadi kami tak punya sepeser uang pun. Entah apa selanjutnya, aku bakal cari kerja atau justru berhenti sekolah.

"Udah sampai Hujan.. Hujan udah sampai" teriak Afero dengan sikap jahilnya yakni mencubit lenganku.

Dan aku pun membalasnya dengan pukulan.

"Et..sorry.. Aku kira belum sampai, heheh" kekehku dengan ketawa.

"Oh jadi dari tadi lo tidur? Enak ya? Aku fokus bawa motor, kamu molor" protesnya sembari menunjukan bibir yang mengerucut.

"Ya kan cuma sebentar, gak lama kan? Gitu aja repot, emang dasar salah. Aku salah! Iya Fer gue salah, salahin aja. Ayo salahin I am sekarang, mumpung saya ada di depan mata lo" , pintaku dengan nada lemah seakan tak berdaya dan dengan komat-kamit tak jelas.

Seketika Afero memelukku, tubuhku yang berpostur tinggi ternyata masih ada orang yang lebih tinggi dariku.
Ya beruntung deh, bisa dicap cewek pendek.

Hujan Januari (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang